Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) pada Senin (30/10). Perkara dengan Nomor 82/PUU-XV/2017 diajukan oleh Kamaluddin Harahap yang berstatus sebagai narapidana korupsi.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf (i) dan huruf k UU Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan menyatakan: "i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); k. Mendapatkan pembebasan bersyarat." Sementara Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf (i) menyatakan "Diberikan hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan."
Diwakili oleh Muhammad Ainul Syamsu selaku Kuasa Hukum, Pemohon mendalilkan pasal tersebut merugikan Pemohon yang saat ini sedang menjalani hukuman. Pemohon sudah menjalani masa pidana sejak 13 Oktober 2016 di Lapas Sukamiskin, Bandung. Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan, semenjak menjalani masa pidananya di Lapas Sukamiskin Bandung sejak 13 Oktober 2016, Pemohon belum mendapatkan hak pengurangan pidana (remisi). Pemohon juga merasa tidak akan mendapatkan hak pembebasan bersyarat karena ketidakpastian hukum dan multitafsirnya ketentuan UU a quo. “Namun, dia tak sekalipun mendapat hak pengurangan masa pidana dan berpotensi tak mendapat hak pembebasan bersyarat. Sebab pasal yang diujikan bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” jelasnya di sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Sifat multitafsir dan ketidakpastian hukum tersebut menyebabkan timbulnya syarat Justice Collaborator (JC) dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a dan Pasal 43A (1) huruf a PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menghalangi Pemohon untuk memperoleh kedua hak tersebut di atas. Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan, meski PP tersebut mengacu kepada UU Nomor 12/1995 sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 174/1999, tetapi keduanya memiliki pengaturan yang berbeda tentang remisi.
Kemudian Pemohon menilai, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi yang mengatur syarat untuk mendapatkan remisi setidak-tidaknya telah menjalani pidana selama 6 (enam) bulan, seharusnya Pemohon sudah 2 (dua) kali berkesempatan untuk mendapatkan remisi. Remisi tersebut, yaitu remisi umum pada tanggal 17 Agustus 2017 dan remisi khusus pada tanggal 25 Juni 2017. Namun, hak tersebut tidak dapat diperoleh Pemohon karena adanya syarat JC. Jika mengacu pada PP Nomor 32/1999, Pemohon berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat jika memenuhi syarat salah satunya telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana. Akan tetapi, jika syarat JC masih berlaku, maka Pemohon tidak akan mendapatkan hak bebas bersyarat tersebut.
Pemohon juga menyebut ada aturan terkait justice collaborator dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a dan Pasal 43A ayat (1) huruf a PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Ketentuan JC yang merupakan syarat remisi dan pembebasan bersyarat ini secara langsung telah menjadi pembatas hak asasi narapida perkara korupsi yang tentunya telah menjadi pembatas hak asasi karena syarat JC untuk mendapatkan remisi ini hanya berlaku bagi narapidana perkara korupsi. Hal ini menyebabkan adanya diskriminasi sesama narapidana. Pemohon berasumsi, diskriminasi terhadap narapidana korupsi, terutama dirinya, terjadi karena UU a quo tidak mengatur secara tegas batasan tata cara dan syarat pengaturan remisi yang dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Di sisi lain, menurut Pasal 4 dan 5 Keputusan Presiden Nomor 174/1999, seseorang dapat memperoleh remisi jika sekurang-kurangnya sudah menjalani hukuman 6 bulan. Tetapi karena tetap mengacu aturan tentang JC, Pemohon tetap tidak mendapat remisi,” tegas Ainul.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra memandang struktur permohonan sudah benar, namun ia meminta agar permohonan tersebut tidak diarahkan ke dalam kasus pelaksanaan penerapan UU. Saldi meminta agar permohonan diarahkan kepada konteks pengujian UU. “Mesti dicari adakah norma konstitusi yang dilanggar?” jelasnya.
Saldi pun meminta agar Pemohon tidak menyebut aturan terkait remisi yang diatur oleh PP, tetapi yang diatur dalam UU. Di sisi lain, Saldi menyebut Pemohon banyak mengutip kata ‘dengan segala akibat hukumnya’, namun janggalnya terkait hal tersebut tidak tercantum dalam petitum. “Sebab isi posita dan petitum harus berkaitan dan menyambung. Jangan sampai Permohonan menjadi obscuur libel,” ujarnya. (ARS/LA)