Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi narasumber dalam kuliah umum yang dilaksanakan oleh Universitas Wiralodra, Indramayu, Sabtu (21/10). Dalam kesempatan tersebut, Anwar menyampaikan materi mengenai “Kewenangan MK Menurut UUD 1945 dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. Di awal pemaparannya, Anwar menerangkan mengenai sejarah lahirnya MK yang dipicu dengan adanya kasus Marbury vs Madison pada 1803 di Amerika Serikat. Menurut Anwar, meskipun sampai saat ini, Amerika Serikat tidak mempunyai MK, namun kasus Marbury vs Madison menjadi kasus constitutional complaint.
“Waktu itu yang dipermasalahkan mengenai SK pengangkatan hakim agung, namun Mahkamah Agung AS dalam putusannya, justru membatalkan ketentuan mengenai pengangkatan hakim agung dalam undang-undang atau judicial review dan menjadi inspirasi lahirnya MK,” terang Anwar di hadapan para peserta kuliah umum.
Kemudian, dia menegaskan bahwa di Indonesia, MK baru terbentuk usai masa Reformasi pada 2003 melalui Perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, MK sering disebut sebagai anak kandung Reformasi. Perubahan UUD 1945 juga mengubah prinsip negara, menjadi negara demokrasi dan nomokrasi. ”Jika demokrasi saja tanpa hukum akan melahirkan kebebasan yang sebebasnya dan melahirkan pemerintah yang otoriter. Untuk itu, NKRI memiliki prinsip demokrasi nomokrasi, dimana demokrasi tersebut berlandaskan hukum,” jelasnya.
Anwar pun menerangkan bahwa MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mk, lanjutnya, memiliki satu kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. “Jika dulu sebelum reformasi, presiden mudah digulingkan, maka sekarang melalui proses peradilan, yakni MK,” tuturnya.
Selain itu, dia mengatakan, MK juga memiliki kewenangan tambahan, yakni MK tetap dapat menyelesaikan perselisihan Pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Menurut Anwar, semula kewenangan PHP Kada diatur dalam Pasal 236C UU Pemerintahan Daerah, namun pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pengujian Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun ketentuan a quo telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun dalam Amar Putusannya, Mahkamah menyatakan tetap berwenang mengadili PHP Kada selama belum ada UU yang mengatur mengenai hal tersebut. (Utami Argawati/LA)