Keberadaan organisasi masyarakat (ormas) seharusnya untuk dibina dan dikembangkan dalam rangka membantu, menunjang, memperkuat program Pemerintah. Hal ini disampaikan oleh Dosen Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf dalam sidang uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), Kamis (26/10) di Ruang Pleno MK. Sidang digelar untuk delapan permohonan, yaitu Perkara Nomor 38/PUU-XV/2017, 39/PUU-XV/2017, 41/PUU-XV/2017, 48/PUU-XV/2017, 49/PUU-XV/2017, 50/PUU-XV/2017, 52/PUU-XV/2017, dan 58/PUU-XV/2017. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dalam Perkara 49/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Jeje Jaenudin (Pusat Persatuan Islam).
Asep menyampaikan esensi dari lahirnya undang-undang yang mengatur keberadaan ormas di sebuah negara yang berlandaskan hukum. Dalam penjelasannya, Asep menerangkan makna UU Ormas sejatinya harus dikaitkan dengan sistem negara hukum dan kerangka sistem demokrasi yang terkandung dalam sila keempat Pancasila. Dalam kajian ilmu Hukum Tata Negara, lanjut Asep, lahirnya sebuah ormas haruslah untuk memajukan program Pemerintah.
“Dipastikan ormas itu dalam rangka dibina, dikembangkan dalam rangka membantu, menunjang, memperkuat apa yang jadi program pemerintah. Oleh karena itu, pasti adalah cara berpikir itu menunjukkan bahwa keberadaan ormas itu harus dalam kacamata pendekatan dan kajian, atau studi dari hukum tata negara, bukan hukum administrasi negara,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Asep menyebut keberadaan Perppu Ormas menggeser cara pandang keberadaan fungsi ormas dalam ranah hukum tata negara sehingga memundurkan kehidupan demokrasi. Mendapati isu yang terjadi saat ini, dirinya pun mencermati telah terjadi pergeseran antara keberadaan ormas yang seharusnya ada pada lingkup hukum tata negara menjadi ke lingkup hukum administrasi negara. “Kenapa demikian, karena dalam hukum administrasi negara, negara tidak melibatkan lembaga negara lainnya untuk melakukan kajian mendalam terhadap perlunya dikeluarkan sebuah kebijakan termasuk dengan membubarkan sebuah ormas,” terangnya.
Asep pun menyebutkan bahwa ormas adalah salah satu cara berdiri negara, artinya bahwa negara tidak dapat berdiri sendiri. Terdapat beberapa komponen yang membuatnya utuh menjadi negara, yaitu partai politik, organ penekan, dan media. “Maka, jika dipandang dari hukum tata negara, maka keberadaan sebuah ormas atau organ penekan itu benar,” sampai Asep dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Langgar HAM
Pada kesempatan selanjutnya, Dosen Hukum Universitas Padjajaran Atip Latipulhayat memberikan keterangannya dalam sudut pandang HAM yang termuat dalam Perppu Ormas. Dalam keterangannya, Atip menyebutkan bahwa Perppu Ormas tidak boleh mengekang HAM, di antaranya adalah kebebasan berserikat dan berkumpul. Selanjutnya, apabila merujuk pada HAM tersebut terkait pula dengan pembubaran institusi. Oleh karena itu, kebebasan berserikat dan berkumpul yang diwadahi ormas, yang menjadi sarana untuk menyampaikan hak-hak yang kemudian menjadi kompenen penting dalam kehidupan masyarakat, seperti bidang sosial, ekonomi,agama, politik, dan lainnya. Adapun kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut pun telah jelas dilindungi UUD 1945 salah satunya UU Nomor 17/2013 tentang keormasan. Namun Atip pun mengingatkan, bahwa kebebasan pun tidak bersifat absolut, ada pembatasan, yang diberikan jaminan yang jelas dan pasti. Menurut Atip, formula baku dari kebebasan ada dua, pertama: kebebasan adalah aturan dan kedua: pembatasan adalah pengecualian. “Artinya, penting juga kita cermati dua hal dari pembatasan tersebut, yakni pembatasan yang tidak boleh mengurangi esensi hak, dan hubungan hak dan pengecualiannya tidak boleh tertukar atau dipertukarkan,” sampai Atip.
Secara filosofi, pembatasan pada kebebasan berserikat dan berkumpul yang sah perlu adanya pembatasan yang harus proporsional dan dibenarkan oleh hukum. Untuk memastikan hal tersebut, dilakukan lewat mekanisme pengadilan. Ia pun menambahkan jika perppu membubarkan suatu ormas tanpa adanya proses pengadilan, maka hal itu sudah termasuk sikap meniadakan hukum.
“Jadi, sekali lagi, saya ingin tekankan di sini bahwa due process of law bukanlah adanya proses pengadilan, tapi adanya proses pengadilan yang reasonable, just, and proper. Berarti perppu yang meniadakan proses pengadilan adalah perppu yang bukan saja menghinakan hukum, tapi meniadakan hukum sama sekali,” sampai Atip.
Adapun pada kesempatan yang sama, terkait dengan telah disahkannya Perppu Ormas oleh DPR sebagai UU, Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XV/2017, di antaranya Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturahmi Antar-Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia mencabut permohonannya. Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief menyampaikan terkait dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU oleh DPR, maka persidangan lanjutan akan diagenda usai RPH sehingga para Pemohon diharapkan menunggu undangan dari Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)