Filosofi dasar dari Hak Angket DPR adalah sebagai instrumen checks and balances dalam sistem demokrasi presidensial. Hal tersebut mengandung arti hak angket hanya ditujukan bagi lembaga eksekutif di bawah presiden.
Demikian keterangan Refly Harun sebagai Ahli yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sidang uji materiil aturan hak angket DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang digelar pada Rabu (25/10). Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut, beragendakan mendengar keterangan ahli dari Pemerintah dan Pihak Terkait Perkara 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, 40/PUU-XV/2017, dan 47/PUU-XV/2017.
Dalam keterangannya, Refly menyebut Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terutama frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” dimaknai sebagai kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian. Menurutnya, hal ini sudah tergambar secara eksplisit bahwa batas-batas penggunaan hak angket hanya ditujukan kepada lembaga-lembaga eksekutif di bawah presiden.
“Dan kenapa begitu? Karena memang maksudnya adalah untuk check and balances antara cabang kekuasaan DPR dan cabang kekuasaan presiden. Karena ujungnya nanti dari penggunaan hak angket itu adalah the right to impeachment. Jadi, adalah hak untuk men-impeach. Kalau seandainya, kemudian hak angket mau ditindaklanjuti, maka dia kemudian akan menjadi hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat kemudian ujungnya ada impeachment,” terangnya di hadapan Majelis Hakim oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Berujung Impeachment
Refly juga memaparkan dari sisi sejarah, keberadaan hak angket bermula dari hak untuk menginvestigasi (right to investigate) dan memeriksa penyalahgunaan kewenangan, dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam administrasi pemerintahan, yang kemudian disebut right to impeachment. Berdasarkan aspek sejarahnya tersebut, lanjutnya, dapat disimpulkan keberadaan hak angket dalam sistem parlementer dipergunakan untuk memakzulkan pejabat negara karena melakukan pelanggaran jabatan.
Sedangkan dalam konteks sistem presidensial Indonesia, Refly menyebut keberadaan hak angket diperuntukkan bagi Pemerintah dalam kerangka sistem check and balances yang juga dapat berujung kepada pemakzulan khusus terhadap kepala pemerintahan (presiden). Ia menilai tidak tepat jika hak angket dilakukan terhadap lembaga independen seperti KPK. Apalagi KPK bukanlah pelaksana kekuasaan pemerintahan.
“Dengan demikian, pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK merupakan tindakan yang melanggar batasan penggunaan hak anget (limitation of power constitutional boundary) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 beserta penjelasannya. Karena secara kelembagaan, KPK bukanlah pelaksana kekuasan pemerintahan (executive power), melainkan lembaga negara negara yang bersifat independen, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelas Pakar Hukum Tata Negara tersebut.
Sementara itu, Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan selaku Ahli Pemerintah menilai hak angket DPR juga mencakup KPK, meski lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga independen. Karena secara tekstual, KPK adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang.
“Tidaklah dapat dijadikan landasan untuk menyatakan hak angket DPR tidak meliputi KPK sebagai lembaga independent. Karena secara tekstual, jelas bahwa KPK adalah organ (lembaga) yang melaksanakan undang-undang. Pengaturan yang dianggap bersifat kumulatif dalam kata dan/atau kebijakan pemerintah tidak dapat ditafsirkan bahwa hak angket hanya ditujukan kepada pemerintah dengan kebijakan yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017. Kemudian beberapa Pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi KPK. Sementara para Pemohon, menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, di antaranya adalah perkara e-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh lembaga antirasuah tersebut. (Lulu Anjarsari)