Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Janedjri M. Gaffar dan Sekretaris Nasional Masyarakat Hukum Adat, Saafroedin Bahar menerima perwakilan dari Karaton Surakarta Hadiningrat yang pada kesempatan tersebut diwakili oleh Dra. GRAy. Koes Murtiyah selaku Sekretaris Jenderal dari Karaton Surakarta dan Dr. KP. Eddy S Wirabhumi, S.H., M.M. selaku penasihat hukum Karaton Surakarta, Sabtu (22/12), di gedung MK.
Dalam pertemuan yang dimaksudkan juga sebagai silaturahmi tersebut, GRAy Koes Murtiyah meminta penjelasan Ketua MK mengenai pengelolaan keraton sebagai bagian dari budaya nasional. Selama ini, menurut Murtiyah pihak Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai pelaku dalam kebudayaan tidak pernah diikutsertakan dalam penataan dan pelestarian budaya keraton. âPadahal kami sebagai panutan dari kebudayaan (Jawa di Karaton Surakarta), tetapi tidak pernah diperhatikan oleh Pemerintah,â kata Murtiyah.
Sementara menurut Dr. Eddy, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) tidak memiliki kesesuaian dengan hukum adat yang ada. UU Pemda, lanjut Eddy, terkesan tidak melindungi kebudayaan bahkan bertentangan dengan hukum adat.
Lebih lanjut, menurut Eddy, UU Pemda yang merupakan produk sistem politik telah menyeret budaya daerah ke dalam ranah politik. Dampak apabila budaya telah menjadi isu politik, jelas Eddy, para pelaku kebudayaan akan tersingkir oleh kepentingan-kepentingan politik. Akibatnya, keraton sebagai institusi kebudayaan menjadi terlemahkan. âKami hanya menginginkan keraton sebagai institusi kebudayaan dapat diakui menjadi lembaga adat. Cukup dengan mengakui keberadaan kami saja, kami sudah puas,â ujar Eddy.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK mengatakan setelah reformasi seharusnya entitas budaya secara bertahap semakin kuat karena telah dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945. âDalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) mengenai masyarakat hukum adat yang didalamnya termasuk keraton, telah diatur sangat tegas mengenai pengakuan negara atas entitas budayaâ, jelas Jimly.
Di samping itu, menurut Jimly, MK sebagai lembaga peradilan pengawal konstitusi juga bertugas untuk mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah merealisasikan dan melaksanakan program-program perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. âHal ini perlu dilakukan supaya janji konstitusi terhadap penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat keraton sebagai unit kebudayaan dapat terwujud,â tambah Jimly.
Terkait dengan perlindungan budaya, Jimly mengingatkan bahwa selain sebagai bagian dari pendidikan kebudayaan juga menjadi bagian dari pariwisata. âDengan demikian, jangan sampai kita lupa untuk melindungi aset-aset kebudayaan negara supaya tidak dijual kepada negara lain yang justru memberikan perhatian lebih serius terhadap kebudayaan Indonesia,â ungkap Jimly. [Andhini Sayu Fauzia]