Seminar Nasional dan Kompetisi Peradilan Semu yang rutin diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi setiap tahun dapat menjadi media bagi pembangunan budaya hukum dan konstitusi. Demikian diungkapkan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, ketika membuka Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi, di Auditorium Universitas Tarumanagara (UNTAR), Jakarta, Kamis (19/10).
Anwar menilai kompetisi peradilan semu yang diselenggarakan kerja sama antara MK dengan UNTAR sarat akan dimensi pembelajaran. “Bukan hanya pembelajaran yang terkait dengan materi konstitusi, tetapi, juga pembelajaran bagaimana strategi dan metode untuk berpikir kritis dan orisinil, sekaligus berani menyampaikannya secara runtut, santun, dan beretika,” ujar pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat tersebut.
Menurut Anwar, dalam kompetisi ini para peserta dituntut untuk berani menyampaikan argumentasi yang logis dan ilmiah, serta mengedepankan kesantunan. Selain itu, Anwar menilai bahwa kompetisi debat ini juga memberi ruang untuk berekspresi yang kondusif, sehingga muncul gagasan atau argumentasi baru, segar, visioner, dan sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Bukan tidak mungkin, dari kompetisi ini, akan muncul konsep-konsep baru yang konstruktif, yang belum pernah terpikirkan sebelumnya mengenai suatu isu konstitusi,” ujar Anwar.
Dalam pandangannya, Anwar menilai konsep-konsep baru dalam kompetisi ini dapat memperkaya khazanah pemikiran mengenai konstitusi, membuka cakrawala baru pemahaman konstitusi, dan memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran mengenai hukum dan konstitusi di masa yang akan datang. Lebih lanjut, ia menegaskan, konstitusi tidak boleh hanya dianggap sebagai dokumen seremonial belaka.
“Agar Pancasila dan konstitusi dapat hidup dan tercermin, dalam penyelenggaraan negara dan keseharian hidup warga negara, Mahkamah Konstitusi, dan kita semua tentunya, harus terus berikhtiar, untuk mendekatkan dan menjadikan pemikiran-pemikiran konstitusional, dalam mengisi denyut-denyut kehidupan,” tandasnya.
Tatanan dan Perubahan Sosial Berdasar Pancasila
Sebelum mengikuti kompetisi peradilan semu konstitusi ini, para peserta mengikuti kegiatan sosialisasi peningkatan kesadaran hak konstitusional bagi peserta persidangan semu konstitusi yang berlangsung di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Jawa Barat. Dalam kegiatan tersebut, para peserta menerima materi mengenai wawasan kebangsaan, reaktualisasi implementasi Pancasila, konstitusi dan konstitusionalisme, sistem penyelenggaraan negara menurut UUD 1945, jaminan hak konstitusional warga negara UUD 1945, serta materi mengenai MK dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam sesi materi “Wawasan Kebangsaan” yang disampaikan oleh Irjen Pol. Budi Setiyadi, diungkapkan sejumlah permasalahan yang harus dipecahkan. Menurut Budi Setiyadi, persoalan yang terjadi saat ini karena semakin banyak yang lupa dengan jasa para pendiri bangsa. “Semakin kita melupakan sejarah, semakin lupa jasa para pahlawan, maka akan semakin besar ego kita,” katanya.
Selain itu, Budi juga membahas tentang perubahan kehidupan sosial masyarakat akibat adanya perkembangan teknologi informasi. Menurutnya, teknologi informasi memang bagus dan membawa kemudahan bagi masyarakat penggunananya, namun jika tidak diwaspadai dapat merusak tatanan kehidupan sosial. Budi memberikan contoh persoalan yang muncul akibat pengaruh teknologi informasi yang terjadi di Bekasi, 70% dari kasus perceraian terjadi karena pengaruh media sosial.
Dalam sesi materi “Reaktualisasi Implementasi Pancasila”, Hayyan ul Haq menjelaskan bahwa lima prinsip yang terdapat dalam Pancasila saling terikat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut Hayyan, konservasi dan reaktualisasi Pancasila perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman yang kompleks terhadap ideologi dan konstitusi. Hal itu karena konstitusi mengamankan aset-aset nasional dan masa depan bangsa, oleh karena itu diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa.
Lebih lanjut, Hayyan menilai secara hakikat, pembahasan soal Pancasila seharusnya sudah selesai. Karena, lanjutnya, yang sebenarnya saat ini dipermasalahkan adalah praktik pelaksanaannya bergantung dari orang yang melaksanakannya, karena dalam diri individu, komunitas dan pemerintah memiliki pemahaman masing-masing yang saling berbeda. Menurutnya, pemahaman-pemahaman tersebut perlu diselaraskan dan disatukan karena nilai-nilai yang ideal tersebut dapat menggerakkan seluruh elemen bangsa jika memiliki keselarasan dan kesatuan.
Hayyan menambahkan kesadaran individu dan kesadaran kolektif harus sama, karena jika tidak ada kesadaran yang sama akan menghasilkan struktur hukum yang buruk. “Untuk memperbaiki struktur yang buruk ini, kita harus meningkatkan kualitas, belajar bersama membangun kesadaran kolektif yang sama, sehingga sistem sosial itu terdiri dari individu-individu yang learning, yang melakukan konservasi, yang melakukan pembelajaran, peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupannya itu berdasar nilai-nilai Pancasila dan konstitusi sehingga dia bisa memfilterisasi pengaruh yang buruh sehingga bisa menggantikan struktur yang buruk dengan struktur yang lebih baik. Identitas kita dalam berbangsa dan bernegara adalah Pancasila,” kata Hayyan.
Selain itu, Hayyan juga menyebut ketika nilai Pancasila terancam dan punah, maka identitas sebagai bangsa bisa hilang. Maka perlu pembelajaran yang dialogis antara individu dan masyarakat, mendiskusikan baik itu nilai-nilai maupun praktik Pancasila. Pola-pola pembelajaran Pancasila harus berbasis pada simpati dan empati merupakan cara untuk mengkonservasi Pancasila, dengan kebersediaan menerima orang lain yang tanpa syarat, dengan kesediaan itu akan terbentuk kesadaran masyarakat berbasis nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran yang dilakukan dengan dialog itu perlu dilakukan karena dapat menghilangkan hambatan proses komunikasi. Menurutnya, dengan kesadaran yang sama, maka komunitas yang solid akan menghasilkan tindakan yang sama sehingga membawa perubahan yang besar.
Wakil Ketua MK Anwar Usman, yang juga menutup kegiatan ini, dalam sambutannya mengatakan, dalam dua hari pelaksanaan kompetisi persidangan semu telah memunculkan banyak bibit penggiat konstitusi yang baru di masa yang akan datang. Menurut Anwar, meski kegiatan ini merupakan ajang kompetisi dalam Peradilan Semu Konstitusi, namun titik tolak dan tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini bukan hanya sekedar untuk mencapai kemenangan dan juara. Melainkan juga memiliki nilai edukasi yang diharapkan dapat terserap dengan baik oleh para peserta kompetisi.
Nilai-nilai edukasi yang terserap oleh para peserta kompetisi inilah yang diharapkan menjadi bekal, bahkan lebih dari itu dapat terpatri dan menjadi jati diri sebagai seorang warga negara dalam menjalankan kehidupan kesehariannya sehingga akan mudah terbangun budaya sadar hukum. “Dengan terciptanya budaya hukum, maka tentunya kesadaran hukum menjadi meningkat dan cita hukum yang kita harapkan sesuai dengan ideologi dan konstitusi negara dapat dengan mudah terwujud. Inilah mimpi yang harus diwujudkan bersama, meski dimulai dengan kegiatan kompetisi yang sederhana ini,” kata Anwar.
Melalui kompetisi ini, Anwar melihat para peserta juga telah dilatih dan melatih diri untuk mempertahankan hak konstitusionalnya ketika ada norma dalam undang-undang yang dirasa melanggar hak konstitusionalnya. Dengan bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki oleh para peserta kompetisi ini, Anwar merasa hal ini penting untuk ditularkan dan diseminasikan kepada para mahasiswa lain, maupun kepada masyarakat.
Kompetisi Persidangan Semu Konstitusi 2017 ini sendiri berhasil dimenangkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara Universitas Trisakti Jakarta dan Universitas Jenderal Soedirman Jawa Tengah menjadi juara kedua dan ketiga. Sebagai penampil terbaik jatuh kepada tim Universitas Lampung, sementara berkas terbaik berhasil diraih Universitas Trisakti. Terakhir, pemberi keterangan terbaik berhasil diraih oleh Universitas Indonesia. (Ilham W.M)