Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap kaum minoritas, khususnya kelompok agama yang dianggap sesat, yang disebabkan oleh adanya undang-undang dan regulasi, tidak selaras dengan jaminan kebebasan beragama berkeyakinan yang digariskan oleh konstitusi.
Demikian diungkapkan oleh penggiat HAM Imdadun Rahmat selaku Ahli yang diajukan Penganut Ahmadiyah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Sidang kelima Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/10) di Ruang Sidang MK.
Imdadun juga menjelaskan bahwa UU Penodaan agama mendestruksi posisi negara sebagai pelindung bagi semua agama dan keyakinan berdasarkan Pancasila dan melegitimasi tindakan aparatur negara yang intervensionis dan diskriminatif. Seharusnya, lanjut Imdadun, undang-undang ini hanya melarang penghinaan terhadap agama. “Ternyata di dalam (UU) PNPS ini juga mengandung pelarangan penafsiran agama yang dianggap menyimpang terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama dan ini tidak lazim. Oleh karenanya para pegiat HAM menilai bahwa undang-undang ini secara keseluruhan bermasalah dan pernah menuntut untuk dicabut,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selanjutnya, Imdadun menjelaskan UU Penodaan Agama berpotensi menimbulkan masalah , seperti pembatasan hak kebebasan para pemuka atau tokoh agama atau rohaniwan dalam menjalankan tugas mereka untuk membina dan mendidik umat masing-masing. Hal ini terkait bunyi pasal yang bisa dimaknai dan ditafsirkan sebagai larangan seseorang yang di depan banyak orang seiman dengannya berdasarkan baik secara langsung maupun tidak langsung dalil-dalil agama yang diyakininya menafsirkan agama lain yang berbeda dengan pokok ajaran agama yang menafsirkan tersebut.
Multitafsir
Pemohon pun menghadirkan aktivis HAM lainnya, yakni Jayadi Damanik yang mengungkapkan UU Penodaan Agama bermasalah karena menyebabkan multitafsir. Pembuat undang-undang bertujuan agar UU Penodaan Agama dapat mencegah adanya penyalahgunaan atau penodaan agama. Tetapi, lanjutnya, karena norma yang terdapat di dalamnya seiring dengan berjalannya waktu terbukti kabur sehingga multitafsir, maka undang-undang a quo menyimpang dari maksud yang semula.
“Yaitu dalam kerangka yang semula preventif (pencegahan) menjadi represif. Meminjam istilah yang digunakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick tahun 1978, saya pakai istilah itu. Itu sebagai konsekuensi dari adanya kandungan diskriminasi berdasarkan agama di dalamnya sebagai akibat dari kabur dan/atau multitafsirnya undang-undang a quo. Oleh karena itu, maka undang-undang ini masuk klasifikasi melanggar hak asasi manusia,” terangnya.
Para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Lulu Anjarsari)