Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima uji materiil Pasal 35 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Kamis (19/10) siang. Perkara Nomor 34/PUU-XV/2017 dinilai tidak beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
“Permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, dan Pemohon X tidak dapat diterima. Selain itu, menolak permohonan Pemohon XI untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan didampingi delapan hakim lainnya.
Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi Nomor 34/PUU-XV/2017 berkaitan dengan pembentukan Provinsi Madura. Pasal 34 ayat (2) huruf d dan Pasal 35 ayat (4) huruf a UU Pemda yang diuji dinilai para Pemohon menjadi hambatan Madura menjadi provinsi. Sebab, isi pasal mensyaratkan pembentukan provinsi baru minimal ada lima kabupaten/kota.
Para Pemohon merupakan kepala daerah di beberapa wilayah, yakni Bupati Bangkalan Muhammad Makmun, Wakil Bupati Sampang Fadhilah Budiono, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, dan Bupati Sumenep Busyro Karim sebagai Pemohon I. Selain itu, Pemohon I juga terdiri dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari sejumlah kabupaten, yakni Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan Imron Rosyadi, Ketua DPRD Kabupaten Sampang Imam Ubaidillah, Ketua DPRD Kabupaten Pamekasan Halili, dan Ketua DPRD Kabupaten Sumenep Herman Dali Kusuma. Adapun Pemohon II adalah Ketua Aliansi Ulama Madura (AUMA) Ali Karrar Shinhaji, Sekjen Badan Silahturrahmi Ulama dan Pesantren Madura (Bassra) Nurudin A Rachman, serta Ketua Umum Panitia Nasional Persiapan Pembentukan Provinsi Madura Achmad Zaini.
Dalam pendapat yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah menyatakan syarat minimal 5 (lima) wilayah kabupaten/kota tersebut tidak diatur dan dibatasi oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut, lanjut Aswanto, sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Norma konstitusi yang menyiratkan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, selama norma tersebut tidak melanggar moralitas, rasionalitas, juga bukan merupakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang. Selain itu, selama norma tersebut bukan terkait penyalahgunaan kewenangan, tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945, tidak bertentangan dengan hak politik, tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang, maka tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Karena itu, berapapun jumlah yang digunakan sebagai syarat cakupan wilayah (syarat kapasitas) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (4) huruf a UU Pemda, tidak dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,” jelasnya.
Selain itu, Aswanto menegaskan MK tidak akan menilai ataupun menguji mengenai potensi wilayah dan kapasitas Pulau Madura apakah telah layak untuk dijadikan suatu provinsi tersendiri. Sebab, hal tersebut merupakan isu konkret pelaksanaan Undang-Undang dan bukanlah kewenangan MK untuk menilai hal tersebut. “Yang akan dinilai dan diadili MK sebatas konstitusionalitas pasal a quo. Tidak ada secara khusus penilaian terhadap usulan pembentukan Provinsi Madura sebagaimana diuraikan dalam permohonan Pemohon,” tegasnya. (ARS/LA)