Permohonan uji materil Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Perdagangan Orang) yang diajukan oleh Tajudin bin Tatang Rusmana selaku penjual cobek akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk seluruhnya. Putusan dengan Nomor 32/PUU-XV/2017 dibacakan pada Kamis (19/10) siang.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua Pleno Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan sebagai korban kriminalisasi akibat penafsiran frasa “perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, maupun penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perdagangan Orang tersebut. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1608/Pid.Sus/2016/PN.Tng, Pemohon dinyatakan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Pasal 2 ayat (1) UU Perdagangan Orang juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 88 UU 35/2014 juncto Pasal 64 KUHP. Pemohon merupakan pembuat cobek asal Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang. Kabupaten Bandung Barat yang sempat menjalani hukuman selama sembilan bulan dengan dakwaan mempekerjakan anak di bawah umur. Sebelumnya, Tajudin ditangkap petugas Kepolisian Resor Tangerang Selatan pada 20 April 2016 dan dibebaskan pada 14 Januari 2017 karena tidak terbukti atas dakwaan tersebut.
Terkait permohonan tersebut, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah menilai perbuatan memperdagangkan orang adalah kejahatan yang tidak berperikemanusiaan karena menghina dan merendahkan harkat dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya diperlakukan sebagai hostis humani generis, musuh bersama umat manusia. Perdagangan manusia itu tidak ada bedanya dengan perbudakan yang sama dengan kejahatan perompakan di laut oleh hukum internasional sudah sejak lama dikategorikan sebagai musuh bersama umat manusia, sehingga oleh hukum internasional terhadap kejahatan tersebut diberlakukan yurisdiksi universal dimana setiap negara diberi wewenang untuk mengadili dan menghukum pelakunya.
Menurut Mahkamah, lanjut Manahan, perdagangan orang khususnya perempuan dan anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, Mahkamah menilai UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana ini mempunyai karakteristik khusus karena melibatkan aspek kompleks serta melintasi batas-batas negara yang dilakukan dengan organisasi yang rapi dan tertutup.
Sedangkan dalam permohonan, Pemohon mencampuradukkan kasus konkret yang dihadapi Pemohon dengan persoalan konstitusionalitas undang-undang in casu UU Perdagangan Orang. Dalam hubungan ini, Mahkamah harus kembali menegaskan bahwa harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas suatu norma undang-undang. Dalam kasus yang dialami Pemohon, hal itu tidak berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas undang-undang in casu Pasal 2 ayat (1) UU Perdagangan Orang, melainkan persoalan penerapan undang-undang, yang dalam hal ini berkait erat dengan persoalan pembuktian.
“Apabila dalam suatu kasus konkret seseorang dipidana karena terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Hal itu bukan berarti Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, melainkan semata-mata menurut penilaian hakim dalam suatu kasus bahwa karena orang yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum,” ucap Manahan.
Menurut Mahkamah, penilaian hakim demikian tidak dapat dicampuri oleh Mahkamah. Jika orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, sistem peradilan pidana telah menyediakan upaya hukum untuk itu, baik melalui upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi, bahkan juga upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali, jika terdapat novum di dalamnya. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan. (Nano Tresna Arfana/LA)