Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil aturan mengenai larangan eksploitasi anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Kamis (19/10). Perkara dengan Nomor 33/PUU-XV/2017 dinilai tidak beralasan menurut hukum.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Tajudin bin Tatang Rusmana selaku Pemohon merupakan seorang pembuat cobek asal Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dirinya sempat menjalani hukuman selama sembilan bulan dengan dakwaan mempekerjakan anak di bawah umur. Tajudin lalu ditangkap petugas Kepolisian Resor Tangerang Selatan pada 20 April 2016 dan dibebaskan pada 14 Januari 2017 karena tidak terbukti bersalah atas dakwaan tersebut. Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 76I UU Perlindungan Anak penting sebagai bentuk perlindungan atas warga negara. Namun di sisi lain, Pemohon menilai frasa “eksploitasi secara ekonomi” harus ditafsirkan dengan lebih jelas.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 76I UU Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon, Mahkamah yang diwakili oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, berpendapat tidak ada korelasi maupun relevansinya mendalilkan Pasal 76I UU Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Sebab, Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak menghalangi atau menghambat atau membatasi hak orang atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Jika Pemohon menganggap Pasal 76I UU Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berarti Pemohon beranggapan bahwa mengeksploitasi anak secara ekonomi adalah bagian dari hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. “Dalam hal ini penalaran Pemohon sungguh absurd. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Palguna.
Selain itu, Palguna menjelaskan alur logika dan argumentasi permohonan sama persis dengan perkara Nomor 32/PUU-XV/2017. Perkara Nomor 32/PUU-XV/2017, lanjutnya, juga diajukan bersamaan dengan perkara Nomor 33/PUU-XV/2017 oleh Pemohon. Alur logika dan argumentasi yang dikemukakan dalam kedua permohonan a quo hampir tidak ada bedanya, kecuali berkenaan dengan pasal undang-undang yang diuji. Sama halnya dengan permohonan Nomor 32/PUU-XV/2017, Pemohon mencampuradukkan logika dan argumentasi kasus konkret yang dihadapi Pemohon dengan persoalan konstitusionalitas undang-undang, in casu UU Perlindungan Anak. Dalam hubungan ini, Mahkamah perlu kembali menegaskan bahwa harus dibedakan antara persoalan konstitusionalitas suatu norma undang-undang dan penerapan norma undang-undang.
Palguna melanjutkan dalam kasus yang dialami Pemohon, hal itu tidak berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Pasal 76I UU Perlindungan Anak melainkan persoalan penerapan undang-undang, yang dalam hal ini berkait erat dengan persoalan pembuktian. Apabila dalam suatu kasus konkret seseorang dipidana karena terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 76I UU Perlindungan Anak, hal itu bukan berarti Pasal 76I UU Perlindungan Anak bertentangan dengan UUD 1945. Melainkan semata-mata menurut penilaian hakim dalam suatu kasus bahwa karena orang yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum.
“Penilaian hakim demikian tidak dapat dicampuri oleh Mahkamah. Jika orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, sistem peradilan pidana telah menyediakan upaya hukum untuk itu, apakah melalui upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, bahkan juga upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya yang berada dalam lingkungan peradilan umum,” tandas Palguna. (ARS/LA)