Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji), Rabu (18/10). Sidang kelima Perkara Nomor 51/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Muhammad Sholeh tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli dari Pemerintah. Namun, DPR kembali berhalangan hadir.
Dalam sidang tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Arief Mufraini selaku Ahli Pemerintah menjelaskan bahwa UU Pengelolaan Haji sebagai penguatan dan menghindari kelambanan serta kegagalan dalam pengaturan dana haji. Menurutnya, dalam perspektif ekonomi dan keuangan modern pada skala makro, aktivitas masyarakat melakukan setoran haji dapat diartikan sebagai tabungan yang terakumulasi untuk mengantisipasi ketidakpastian pendapatan pada masa mendatang. Hal ini pun dikaitkan pula dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, rasionalitas ekonomi menghadirkan lembaga perantara, yakni BPKH dan perbankan pengelola dana haji. Kedua lembaga ini memberikan ruang rasionalitas penyimpanan aset dalam kondisi yang lebih menguntungkan. Namun, pengetahuan Islam mengoreksi hal tersebut, bahwa itu merupakan bentuk daripembayaran langsunguntuk kepentingan utility sharing sesama calon jamaah haji dalam peningkatan layanan haji.
“Berdasarkan hal tersebut, semangat UU a quo hadir sebagai self reinforcement umat dalam kerangka menghindari inertia and coordination failure. Jadi, besaran nilai setor awal tersebut sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah, dengan catatan ketentuannya menjadi relatif dan UU ini hanya mengatur adanya setoran awal dan tidak menuangkan nominal besarannya karena kesepakatan dan kesepahaman fair price dapat dituangkan pada peraturan di bawahnya,” terang Arief.
Selanjutnya, Arief juga menjelaskan dalam perspektif fiqih klasik bahwa akumulasi dana haji pada pengelolaan dan pengembangan pada masa sebelum adanya UU a quo, seperti syirkah amlaak. Hal tersebut mengandung arti kepemilikan atas suatu benda secara bersama-sama tanpa didahului adanya suatu akad. Bentuk dari hal tersebut adalah suatu kepemilikan bersama yang muncul akibat dari perbuatan bersama setiap pihak yang memiliki hak kepemilikan tersebut. Dalam hal ini, jamaah menyetor pada BPIH yang dikelola Pemerintah untuk peningkatan layanan bagi seluruh jamaah haji.
“Berdasarkan kondisi tersebut, untuk menjaga hak dan kewajiban yang dimaksudkan lebih syar’i, Pemerintah menghadirkan UU a quo dengan menjadikan BPIH sebagai wakil jamaah atas kepemilikan dan pengelolaan dana haji,” urai Arief di hadapan Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Arief melanjutkan BPKH dapat berperan menjadi wakil jamaah dalam kepemilikan dan pengelolaan dana haji. Hal ini berarti kelembagaan dana haji tersebut mempunyai kapasitas legal form untuk kepentingan hak, kewajiban, dan tanggungan yang berbeda dari pihak yang memiliki kelembagaan tersebut, yakni calon jamaah haji. Maka, lanjutnya, BPKH dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan dana haji tanpa harus terlebih dahulu meminta izin kepada calon jamaah.
Alat Seleksi Kelayakan
Sementara itu, Pakar Keuangan Negara dan Perpajakan Siswo Sujanto berpandangan dalam studi hukum keuangan negara, negara harus memenuhi kebutuhan rakyatnya yang berupa layanan publik secara konstitusional. Pada prinsipnya, layanan publik tersebut merupakan kebutuhan dasar yang wajib disediakan pemerintah.
“Mengingat hal tersebut adalah kebutuhan dasar, artinya pemerintah menyediakan secara cuma-cuma. Oleh karena konsepsi layanan publik dari masa ke masa berkembang, termasuk pula kebutuhan ibadah haji. Dan ini salah satu kebutuhan yang dijamin negara,” jelas Siswo yang merupakan penggagas dan anggota tim perumus UU Keuangan Negara.
Siswo juga menambahkan bahwa secara historis, keterlibatan Pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan dana haji sudah lama berlangsung, bahkan dari masa kolonial. Dalam perkembangannya, masalah pengelolaan haji kemudian tidak hanya mengenai kelayakan seseorang layak berangkat, tetapi juga terkait dengan kuota dari pemerintah Arab Saudi. “Untuk itu Pemerintah harus melakukan seleksi dan berwenang untuk hal tersebut,” tegasnya.
Adapun berkaitan dengan meningkatnya pendaftar peserta haji dan terbatasnya kuota dari pihak Arab Saudi, melalui kewajiban membayarkan sejumlah uang pada saat pendaftaran adalah salah satu alat seleksi yang dapat mengendalikan hal tersebut. “Artinya, seseorang yang telah menyetor akan masuk pada kategori mampu. Di mana kemampuan tidak diukur pada tahun ke depannya, tetapi pada saat pendaftaran. Pola ini dipandang cukup adil bila memperhatikan besarnya biaya operasional haji,” jelasnya.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief Hidayat meminta agar Pemohon dan Pemerintah menyerahkan kesimpulan pada Kepaniteraan MK paling lambat pada Kamis, 26 Oktober 2017 pukul 14.00 WIB.
Dalam pokok permohonannya, Sholeh mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya tiga pasal, yakni Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU Pengelolaan Keuangan Haji. Pemohon mendaftar sebagai calon jamaah haji pada Kantor Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur menyetorkan dana sebesar Rp20 juta pada 13 Februari 2008 lalu. Akan tetapi, Pemohon tidak pernah dijelaskan jika uang yang disetorkan tersebut akan diinvestasikan. Menurut Pemohon, hal ini merugikan hak konstitusional Pemohon, apabila uang Pemohon dipakai untuk investasi tanpa persetujuan. Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan keberlakuan ketiga pasal tersebut.(Sri Pujianti/LA)