Sebanyak 30 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/10) siang. Peneliti MK Irfan Nur Rachman menerima kunjungan tersebut di Gedung MK.
Dalam kesempatan itu, Irfan menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem hukum berlandaskan UUD 1945. Ia menyebut beberapa negara juga menganut sistem hukum serupa dengan menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
“Indonesia menganut supremasi konstitusi dan meninggalkan paradigma lama yaitu supremasi parlemen. Ternyata kalau melihat ke negara lain, ada beberapa negara yang secara eksplisit menegaskan bahwa konstitusi itu merupakan supremasi tertinggi. Bahkan ada yang memuat hierarki norma dalam konstitusi. Tidak seperti Indonesia, hierarki norma diatur dalam sebuah undang-undang. Apa tidak ada pemikiran ke depan, agar diatur hierarki norma tidak dalam sebuah undang-undang tetapi dalam konstitusi,” tambah Irfan.
Adanya hierarki norma dalam konstitusi, kata Irfan, terdapat dalam Konstitusi Amerika Serikat yang menegaskan bahwa konstitusi itu sebagai hukum tertinggi. Begitu pula Konstitusi Turki menegaskan bahwa konstitusi merupakan hukum yang fundamental dalam penyelenggaraan negara.
“Di Afrika Selatan juga begitu. Ada penegasan bahwa konstitusi itu adalah hukum tertinggi. Barangkali kalau nanti ada wacana perubahan konstitusi, yang perlu dijadikan pekerjaan rumah adalah menegaskan bahwa Indonesia menganut supremasi konstitusi itu ke dalam konstitusi kita. Jadi, tidak ada perdebatan lagi di ranah akademis dan ilmiah tentang anutan supremasi konstitusi di negara kita,” papar Irfan.
Lebih lanjut Irfan menyampaikan, beberapa waktu lalu ada wacana bahwa Indonesia akan menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN). Namun hal ini menimbulkan pro kontra dan perdebatan yang luar biasa.
“Menghidupkan GBHN otomatis berpotensi mengubah struktur ketatanegaraan kita, yang semula kita menganut supremasi konstitusi bisa bergeser ke supremasi parlemen. Meski sebagian ahli mengatakan bahwa menghidupkan GBHN tidak akan mengubah struktur ketatanegaraan,” tegas Irfan.
Dikatakan Irfan, konstitusi sebagai hukum tertinggi harus dijaga, dikawal agar tidak peraturan yang berlaku di bawah konstitusi itu bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu muncul ide constitutional review untuk menguji ketentuan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar, konsistensi, koherensi, korespondensinya dengan konstitusi. “Ketika itu tidak terpenuhi, maka itu bisa dibatalkan. Hal tersebut merupakan Teori Hans Kelsen dari Austria,” ucapnya.
Irfan melanjutkan, constitutional review terbagi dua. Ada yang mengadopsi ide menguji undang-undang dengan membuat lembaga tersendiri seperti MK Austria saat pertama dibentuk. Kemudian ada juga yang mengadopsi ide menguji undang-undang tidak membuat lembaga tersendiri. Tetapi fungsi pengujian undang-undang ini diletakkan pada supreme of court seperti di Amerika Serikat.
“Namun ada pula negara yang tidak mengadopsi dua sistem tersebut. Seperti di Perancis yang menerapkan constitutional preview atau dewan konstitusi. Kenapa disebut dewan konstitusi? Karena memang Perancis masih menganut supremasi parlemen, menguji sebuah undang-undang yang belum diundangkan,” jelas Irfan.
Sementara MK Republik Indonesia (MKRI) menguji undang-undang yang sudah diundangkan. MKRI mengadopsi sistem MK Korea. “Kalau kita lihat kewenangan MK Korea tidak jauh berbeda dengan kewenangan MKRI. Yang tidak ada adalah kewenangan untuk menguji pengaduan konstitusional atau constitutional complaint,” tandas Irfan. (Nano Tresna Arfana/LA)