Pengurus Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengajukan uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 55 (UU MK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pendahuluan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XV/2017 tersebut digelar di Ruang Sidang Panel MK, Selasa (17/10).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda Andrianto Djokosoetomo serta Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda Ateng Aryono tercatat sebagai Pemohon perkara ini. Pemohon melalui kuasa hukumnya Ai Latifah Fardhiyah, menilai Pasal 55 UU MK melanggar hak konstitusionalnya yang dijamin UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1). Pasal 55 UU MK berbunyi, ”Pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Pemohon mendalilkan MK telah memutus pengujian Pasal 139 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) vide Putusan MK Nomor 78/PUU-XIV/2016 terkait adanya keharusan bagi penyedia jasa angkutan online memiliki badan hukum. Putusan MK tersebut dinilai Pemohon memperkuat keberadaan Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ yang kemudian secara implementatif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek (Permenhub Nomor PM.26/2017). Akan tetapi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 menyatakan Permenhub Nomor PM.26/2017 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Pemohon, Putusan Mahkamah Agung Nomor 37/P/HUM/2017 secara substantif bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIV/2016.
“Seharusnya Putusan MA tersebut memperhatikan Putusan MK. Jelaslah bahwa tindakan MA dalam mengeluarkan putusan tersebut dapat ditafsirkan sebagai sikap tidak terikat dengan Putusan MK atau dapat dikatakan Putusan MK secara hukum tidak mengikat MA,” jelas Ai Latifah.
Untuk itulah, Pemohon dalam petitumnya, meminta agar MK memutus Pasal 55 UU MK secara konstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan sebagai “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi, yang mengikat Mahkamah Agung”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams memberikan catatan mengenai kejelasan dari kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan pemberlakuan pasal a quo. “Kerugian konstitusional yang disebutkan di sini apakah potensial atau faktual? Ini perlu diuraikan agar terlihat jelas kerugian yang dialami dengan norma yang diujikan ini,” saran Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul meminta konsistensi dari Pemohon terhadap batu uji yang didalilkan. “Pada permohonan diawal disebutkan batu ujinya Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), kemudian di halaman lain disebutkan Pasal 28H ayat (4). Jadi, ini terlihat tidak konsisten,” ujarnya pada kuasa hukum Pemohon.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti perihal kerugian konstitusional yang disampaikan Pemohon. Menurut Aswanto, Pemohon belum menegaskan secara baik kerugian pihaknya, baik yang potensial maupun yang faktual terhadap norma yang diujikan. “Dengan demikian, diharapkan Pemohon dapat memperbaiki hal ini diiringi dengan legal standing dan posita Pemohon dalam permohonan,” tegasnya.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu hingga Senin, 30 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB untuk memperbaiki permohonan. (Sri Pujianti/LA)