Direktur Utama PT. Autoliv Indonesia Junius M.S. Tampubolon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terkait batas waktu pengajuan banding. Sidang yang teregistrasi dengan Nomor 78/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perdana tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Pemohon yang memiliki usaha manufaktur sabuk pengaman mobil tersebut mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan batas waktu banding dalam pengadilan pajak seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak
“Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.”
Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak
“Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Melalui Syawaluddin selaku kuasa hukum, Pemohon menyebutkan pihaknya memiliki SK Direktorat Jenderal Pajak KEP-00261/KEB/WPJ.07/2017 tanggal 9 Maret 2017 tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Khusus Jakarta (DJP). Dalam hal ini, Pemohon menerima SK DJP tersebut pada 14 Maret 2017 yang dibuktikan dengan bukti lacak kiriman atas SK DJP. Atas surat tersebut, Pemohon mengajukan banding pada Pengadilan Pajak dengan surat banding tertanggal 9 Juni 2017. Surat tersebut pun didaftarkan pada Sekretariat Pengadilan Pajak pada 12 Juni 2017 dan kemudian pihak pengadilan memutus tidak dapat menerima permohonan banding dalam Putusan Nomor Put-85603/PP/HT.1.15.2017 yang diucapkan pada 14 Agustus 2017. Pertimbangan hakim pada putusan tersebut, yakni permohonan banding telah melewati jangka waktu pengajuan banding berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak.
Pemohon pun mengalami kerugian akibat adanya kerancuan mengenai perhitungan jangka waktu tersebut. Pemohon menyampaikan bahwa Permohonan Banding Pajak Pemohon tidak diterima akibat adanya perbedaan acuan dalam perhitungan jangka waktu sehingga berakibat pula pada ketidakpastian hukum bagi Pemohon.
“Kerancuan yang disebabkan definisi dalam Pasal 1 angka 12 ini menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai definisi ‘tanggal diterima’dalam UU Pengadilan Pajak dan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28D ayat (1),“ tegas Susanto.
Selain mengenai frasa "tanggal diterima" pada Pasal 1 angka 12 UU Pengadilan Pajak, Pemohon juga menyampaikan terdapat pula ketidakjelasan mengenai definisi "3 bulan" dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Pemohon meminta penafsiran frasa "3 bulan" untuk merealisasikan keadaan normatif mengenai kepastian perhitungan hari tersebut. Pemohon mengajukan penafsiran pasal tersebut yang layak, jika frasa "3 bulan" ditafsirkan 3 bulan yang dimaksud adalah 90 hari dan frasa "setelah tanggal diterima" ditafsirkan setelah wajib pajak menerima surat keputusan. Berdasarkan Hukum Acara pada Peradilan Umum atau Tata Usaha Negara, yang dimaksud "tanggal diterima" adalah tanggal saat berkas diterima oleh sang penerima. Hal ini dapat dilihat pula dalam perhitungan jangka waktu pengajuan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Penerimaan berkas atau dokumen dalam sistem peradilan dibuktikan dengan adanya tanda terima yang membuktikan sang penerima sudah menerima berkas yang dimaksud pada tanggal yang tertera pada tanda terima tersebut. “Berdasarkan hal tersebut, perhitungan ‘tanggal diterima’ dalam pasal a quo menyimpang kaidah bahasa (gramatikal), kaidah hukum, dan hukum acara,” urai Andriansyah yang juga kuasa hukum pada Panel Hakim.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul pun memberikan beberapa saran perbaikan, di antaranya perlunya penegasan kedudukan hukum Pemohon yang merupakan direktur utama dari perseroan terbatas yang merupakan badan hukum yang memiliki AD/ART. “Legal standing Pemohon mohon ditunjukkan di dalam anggaran dasar Persero tersebut, ia boleh mewakili perusahaan ke luar atau ke dalam sejauh mana dan mohon dielaborasi hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam AD/ART perusahaan,” sebut Manahan.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar Pemohon mempertajam penjelasan kerugian konstitusional yang dialaminya dari pemberlakukan norma a quo. “Alasan permohonan perlu dipertajam dengan menjelaskan hal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan bukan dengan KBBI dan pasal lain,” saran Wahiduddin.
Hakim Konstitusi Aswanto pun memberikan nasihat berupa posita yang harus diperkuat dengan uraian komprehensif terhadap kerugian konstitusional Pemohon. “Tolong lakukan elaborasi pada posita, mulai dari teori hingga kerugian yang dialami akan kehilangan hak banding karena batas waktu yang disebutkan dalam pasal a quo. Hal ini penting sehingga terlihat causa verba-nya, norma yang diuji dengan kerugian,” jelas Aswanto.
Pada akhir persidangan Hakim Konstitusi Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Senin, 30 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)