Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan dalam rangka pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual (UU Kota Tual) di Propinsi Maluku terhadap UUD 1945, Selasa (18/12) di ruang sidang MK. Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna serta H.A.S Natabaya dan H. Harjono sebagai anggota Panel. Perkara yang diregistrasi pada pada Jumat (7/12) dengan Nomor 31/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh PERSATUAN MASYARAKAT ADAT (RAT/ORANGKAY) KEI (NUHU EVAV).
Melalui kuasa hukumnya, H. SUPRIYANTO REFA, S.H., M.H. dkk, para Pemohon menganggap bahwa UU Kota Tual tersebut baik formil maupun materilnya bertentangan dengan pasal 18 Ayat (1), 18B Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945. Pemohon merasa dengan berlakunya UU a quo telah merugikan hak konstitusional para pemohon, karena Undang-Undang tersebut pembentukannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemohon juga beralasan bahwa tidak ada persetujuan dari Bupati Kabupaten Maluku Tenggara, persetujuan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara tidak berdasarkan pernyataan aspirasi Masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara, atau dengan kata lain belum pernah dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat menyangkut maksud dilaksanakannya pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara dan persetujuan Gubernur Propinsi Maluku tidak didasarkan atas hasil penelitian daerah yang dilakukan oleh Tim Khusus.
Para Pemohon sebagai masyarakat adat mengatakan memiliki hak ulayat dan wilayah kekuasaan adat di seluruh wilayah Kebupaten Maluku Tenggara, sehingga mempunyai kepentingan dalam pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara. Para Pemohon juga mengaggap bahwa mereka merupakan masyarakat hukum adat yang secara geneologis adalah satu keturunan dengan hak-hak adat atas tanah/ulayat yang dimiliki secara komunal. Dengan demikian, hak konstitusional para pemohon adalah untuk menjaga agar hak ulayat dan wilayah kekuasaan adat yang dimiliki oleh para pemohon tetap terjaga sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18B Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 9145.
Lebih lanjut, menurut Pemohon, seharusnnya negara memberi pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah, wilayah dan sumber daya yang dimiliki masyarakat hukum adat yang merupakan satu kesatuan bentuk perwujudan dari pengakuan negara terhadap adat, tradisi dan sistim pemanfaata tanah dari masyarakat hukum adat yang hidup di daerah tersebut.pengakuan dan perlindungan hukum yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat hukum adat merupakan kewajiban negara yang diatur dalam UUD 1945 yang harus dipenuhi.
Terhadap permohonan tersebut, Ketua Panel Hakim I Dewa Gede Palguna menasihatkan agar Pemohon memperjelas mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. âApakah benar para Pemohon ini adalah masyarakat hukum adat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Harus dibedakan antara masyarakat adat dengan masyarakat hukum adat. Karena tidak semua masyarakat adat adalah juga masyarakat hukum adat. Karenanya, Pemohon harus mencantumkan syarat-syarat kualifikasi seperti yang diatur dalam UU,â jelas Palguna.
Senada dengan hal tersebut, Hakim Konstitusi H. Harjono juga menasihatkan Pemohon untuk lebih menjelaskan lebih rinci mengenai kesatuan hukum adat Pemohon. Hal tersebut, menurut H. Harjono agar lebih meyakinkan Majelis Hakim bahwa masyarakat hukum adat yang dimaksud Pemohon benar-benar ada, bukan hanya berdasarkan pendapat dalam permohonan. âBagaimana kita bisa mengetahui mereka adalah pemangku adat tanpa ada penjelasan dalam permohonan,â tanyanya mengonfirmasi.
Sementara Hakim Konstitusi Natabaya mengingatkan Pemohon bahwa uji formil terhadap proses pembentukan suatu undang-undang adalah menyangkut syarat-syarat pembentukan undang-undang. âUji formil undang-undang dilakukan apabila undang-undang tidak memenuhi syarat-syarat proses pembentukannya, misalnya (dalam undang-undang pemekaran daerah) harus ada persetujuan DPRD dan rekomendasi Mendagri. Namun bila syarat-syarat tersebutâterlepas dari ada tidaknya aspirasi masyarakatâmaka tidak bisa diajuan uji formil,â jelasnya. Dalam permohonannya, Pemohon mengatakan proses pembentukan UU Kota Tual cacat hukum karena tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adat setempat. Meskipun demikian, dalam prosesnya, pembentukan UU Kota Tual telah mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan telah memperoleh rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Atas nasihat-nasihat tersebut, majelis panel Hakim Konstitusi memberikan batas waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. âApabila tidak diperbaiki, atau telah melewati batas waktu tersebut, maka permohonan inilah yang akan diperiksa oleh Majelis Hakim,â pungkas Palguna menutup sidang. [sri agus monica/ardli]