Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian aturan banding dalam proses praperdilan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (10/10) di Ruang Sidang Pleno MK. “Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Ketua MK Arief Hidayat dalam pembacaan putusan terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 42/PUU-XV/2017.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut, Mahkamah memberikan pendapat mengenai dalil Pemohon yang menginginkan agar Pasal 83 ayat 1 KUHAP sepanjang frasa “tidak dapat dimintakan banding” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bersyarat. Menurut Mahkamah, permohonan tersebut sesuatu yang berlebihan, mengingat di samping telah jelas bahwa dari sifat praperadilan adalah perkara yang harus cepat penyelesaiannya dan juga dari normanya sendiri dalam pasal a quo sudah jelas melarang upaya hukum banding. Terlebih dalam batas penalaran yang wajar, upaya hukum lainnya (kasasi dan peninjauan kembali) esensinya akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi.
“Di samping itu, argumentasi Mahkamah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 45A UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang pada pokoknya menyatakan tidak dapat diajukan kasasi untuk putusan praperadilan," ujar Anwar dalam sidang yang dimohonkan Anthony Chandra Kartawiria yang merupakan mantan Direktur PT Mobile 8 yang menjadi tersangka dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile 8 periode 2007-2009.
Selanjutnya, terhadap bagian lain yang dimohonkan Pemohon agar Mahkamah juga menafsirkan ”termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit 2 (dua) alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, juga berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara”, Mahkamah juga tetap berpendapat yang sama dengan putusan sebelumnya. Dalam putusan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa terhadap seorang tersangka yang telah dibatalkan penetapan tersangkanya oleh hakim praperadilan masih dapat dilakukan penyidikan kembali secara ideal dan benar. Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan. Terhadap persyaratan paling sedikit 2 (dua) alat bukti baru yang sah yang belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan dan berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, dalam hal ini Mahkamah tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon.
“Mengingat dapat saja alat bukti yang diajukan dalam penyidikan yang baru adalah alat bukti yang telah dipergunakan pada penyidikan terdahulu yang ditolak mungkin karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi dan baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru. Sehingga terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka,” ucap Anwar.
Sedangkan terkait persoalan yang dikhawatirkan oleh Pemohon, yaitu adanya potensi bahwa penyidik dapat menerbitkan surat perintah penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap subjek hukum yang sama secara berulang-ulang dengan alat bukti yang sama dan hanya melakukan sedikit perubahan pada materi perkara, menurut Mahkamah hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menjelaskan hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan dalam hal yang demikian tidak mengurangi hak Pemohon untuk menggunakan mekanisme praperadilan terhadap hal tersebut. Kekhawatiran Pemohon tersebut tidak perlu terjadi apabila penyidik memedomani putusan Mahkamah ini. Terutama dalam menggunakan alat bukti sebagai dasar penyidikan kembali adalah alat bukti yang telah dipertegas oleh Mahkamah, yaitu meskipun alat bukti tersebut tidak baru dan masih berkaitan dengan perkara sebelumnya akan tetapi adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas semata sehingga pada dasarnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya. “Dengan demikian akan diperoleh adanya kepastian hukum tidak saja bagi tersangka yang tidak dengan mudah ditetapkan sebagai tersangka kembali akan tetapi juga bagi penegak hukum yang tidak akan dengan mudah melepaskan seseorang dari jeratan pidana,” tandas Manahan.
Adapun terkait persoalan yang dikhawatirkan Pemohon akan adanya potensi bagi penyidik menerbitkan surat perintah penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap subjek hukum yang sama secara berulang-ulang, Mahkamah berpendapat hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma a quo, namun merupakan permasalahan implementasi. “Maka, menjawab argumentasi pasal a quo dapat mengurangi hak Pemohon untuk menggunakan mekanisme praperadilan dan berpotensi terlanggarnya hak konstitusional (hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman serta hak atas jaminan perlindungan terhadap hak asasi sesuai dengan prinsip negara hukum) Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Manahan. (Sri Pujianti/LA)