Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan terkait aturan syarat materi dalam Putusan Mahkamah Agung sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). MK memutus Pasal 197 ayat (1) KUHAP konstitusional bersyarat. Putusan permohonan dengan Nomor 103/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Joelbaner Hendrik Toendan yang berprofesi sebagai advokat.
Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”. Sehingga Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjadi berbunyi:
“Surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: \"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.”
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang dimohonkan Pemohon tidak mengatur secara jelas mengenai putusan yang dikenai aturan pasal tersebut. Hal ini berakibat tidak jelasnya maksud dan tujuan diberlakukannya pasal tersebut sehingga berdampak pada kinerja pengadilan.
“Keberlakuan pasal dimaksud, apakah berlaku untuk seluruh putusan pemidanaan mulai dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi termasuk peninjauan kembali atau hanya berlaku pada pengadilan tingkat tertentu saja, sehingga menjadi tidak jelas pula tujuan yang hendak dicapai. Ketidakjelasan tersebut berdampak pada kinerja pengadilan, baik di tingkat kasasi dan juga pada tingkat banding,” jelasnya.
Suhartoyo melanjutkan kinerja pengadilan yang dimaksud terutama dalam kaitannya dengan minutasi perkara, yakni terlambatnya penyelesaian perkara disebabkan karena dalam surat putusan pemidanaan pada setiap tingkatan pengadilan juga harus memuat kembali tidak saja surat dakwaan, tetapi juga pemuatan kembali surat tuntutan pidana dan uraian status barang bukti. Menurut Mahkamah, tidak terdapat urgensi pemuatan kembali surat dakwaan, surat tuntutan pidana, dan uraian status hukum barang bukti sebagaimana yang sudah termuat dalam lampiran daftar barang bukti pada pengadilan negeri dan telah beberapa kali dibacakan di persidangan. Hal tersebut dikarenakan hanya untuk pemuatan kembali uraian surat dakwaan dan juga uraian surat tuntutan pidana serta uraian status hukum barang bukti dalam putusan tingkat banding maupun tingkat kasasi semakin bertambahnya waktu untuk mempersiapkan naskah putusan bagi hakim tingkat banding dan tingkat kasasi. Akibatnya tidak saja timbul kerugian materiil, tetapi juga kerugian immateriil yang tidak saja sulit dinilai secara ekonomis tetapi juga menimbulkan dampak psikologis bagi pencari keadilan sehingga pada akhirnya kian menjauh dari perwujudan asas peradilan sederhana dan biaya ringan.
“Lebih jauh, keadaan demikian mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum perihal kapan suatu perkara selesai diperiksa, terutama pada putusan pengadilan tingkat banding dan tingkat kasasi, termasuk peninjauan kembali. Keterlambatan tersebut juga menyebabkan terhambatnya fungsi peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan, padahal tertundanya keadilan sama saja dengan tidak memberikan keadilan (justice delayed justice denied),” tegas Suhartoyo.
Perlu Ada Pedoman MA
Selain itu, Mahkamah menegaskan harus adanya penyederhanaan surat putusan pada pengadilan tingkat banding dan tingkat kasasi, termasuk peninjauan kembali, guna memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum. Terkait hal tersebut, setelah Mahkamah membaca dengan cermat KUHAP, ternyata tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai surat putusan pemidanaan baik bagi pengadilan tingkat banding maupun pengadilan tingkat kasasi termasuk peninjauan kembali.
Menurut Mahkamah, lanjut Suhartoyo, terhadap hal tersebut Mahkamah Agung dapat menggunakan wewenangnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) untuk menerbitkan peraturan yang mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Dengan demikian agar ada kepastian hukum, Mahkamah Agung harus segera membuat pedoman (template putusan) mengenai hal-hal yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan di tingkat banding dan tingkat kasasi termasuk peninjauan kembali,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)