Sebanyak 18 guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kota Cirebon berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (5/10) siang. Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Helmi Kasim.
Pada pertemuan tersebut, Helmi membahas secara panjang lebar pengertian kerugian konstitusional Pemohon sebagai bagian dari pengujian undang-undang sebagai salah satu kewenangan MK.
“Yang penting dalam berperkara itu ada kerugian. Kalau tidak ada kerugian, kenapa Anda berperkara? Begitu pun di Mahkamah Konstitusi, dalam pengujian undang-undang pintu masuknya harus ada kerugian. Kalau tidak ada kerugian, maka tidak ada kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian undang-undang,” urai Helmi.
Menurut Helmi, kerugian yang dimaksud haruslah terkait hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Ia pun menguraikan mengenai beberapa kriteria kedudukan hukum Pemohon yang dapat mengajukan perkara ke MK.
“Kerugian konstitusional Pemohon tentu bukan kerugian materiil. Lantas apa pihak yang dapat disebut mengalami kerugian? Maka berlaku ketentuan Mahkamah Konstitusi. Bahwa yang dimaksud dengan pihak yang mengalami kerugian adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Selain itu badan hukum publik dan privat termasuk juga lembaga negara,” papar Helmi.
Dikatakan Helmi, MK banyak menerima permohonan berperkara, namun minim mengenai uraian kerugian konstitusional. Banyak pihak yang berperkara di MK, hanya menyebutkan hal normatif dalam permohonannya tanpa menguraikan lebih detail kerugian konstitusional.
“Pertanyaannya, bagaimana kerugian itu terjadi? Itu yang tidak banyak diulas dalam permohonan Pemohon, hanya normatif. Bagaimana Anda mengatakan bahwa Anda dirugikan? Bagaimana proses terjadinya kerugian itu? Itu yang paling penting,” ucap Helmi.
Helmi melanjutkan, ada beberapa syarat yang bisa disebut sebagai kerugian konstitusional. Misalnya, kerugian itu bisa bersifat faktual, aktual dan potensial, termasuk juga ada hubungan sebab akibat.
“Bahwa Bapak dan Ibu bisa melakukan pengujian Undang-Undang Perlindungan Anak yang potensial mengkriminalisasi guru. Misalnya ada guru yang memberi hukuman dengan mencubit dapat dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan kekerasan terhadap anak didik. Tetapi Bapak dan Ibu belum mengalami kejadian itu. Ada orang yang mengalami kejadian itu. Bapak dan Ibu khawatir kalau nanti memberikan hukuman kepada muridnya, dianggap sebagai kekerasan. Itu dapat dianggap memiliki kerugian konstitusional yang sifatnya potensial untuk menguji ketentuan tersebut untuk maju ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Helmi.
Dijelaskan Helmi, dalam proses pengujian ini Pemohon tidak selalu meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan ketentuan tertentu. Tetapi bisa juga meminta tafsir dari Mahkamah Konstitusi.
“Itulah dalam perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi ada yang namanya putusan inkonstitusional bersyarat atau konstitusional bersyarat, tidak membatalkan secara utuh ketentuan yang diuji. Tetapi Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa ketentuan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang ditafsirkan demikian,” tandasnya. (Nano Tresna Arfana/LA)