Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji secara materiil oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Aktivis Pemantau Pemilu Aceh. Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XV/2017 dimohonkan oleh dua anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yakni Hendra Fauzi dan Robby Syahputra serta Ferry Munandar yang merupakan aktivis pemantau pemilu. Sidang perdana perkara tersebut dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Saldi Isra pada Rabu (4/10) siang.
Pada sidang pemeriksaan permohonan, Irfan Fahmi selaku kuasa hukum, menguji Pasal 567 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2), dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang dinilai berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, pasal tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya UU Pemerintah Aceh (UUPA), khususnya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4). Pasal tersebut dinilai memosisikan Aceh memiliki peran yang lebih besar dan mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemilu.
“Para Pemohon berpendapat berlakunya pasal a quo melanggar hak konstitusi karena bertentangan dengan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh yang sudah diatur dalam pemerintahan. Makanya ada lembaga bernama KIP. Dengan adanya pasal a quo, kewenangan dan kekhususan Pemerintah Aceh itu menjadi terkesampingkan, terlebih lagi UU tersebut mengesampingkan wewenang KIP,” terang Irfan yang juga didampingi para Pemohon di Ruang Sidang Panel MK.
Irfan pun menambahkan, dengan pemberlakuan UU a quo berakibat pada kewenangan KIP yang tidak lagi punya kewenangan sebagai pelaksana pemilu khusus Aceh. Hal tersebut dikarenakan semua kewenangannya telah ditarik ke KPU, terutama menyangkut verifikasi partai lokal. “Jadi, KIP tidak punya kewenangan atas proses tata cara verifikasi partai lokal lagi,” jelas Irfan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Anwar memberikan beberapa catatan terutama ketidaksinkronan antara Petitum dengan dalil-dalil yang disampaikan pada pokok permohonan. Di samping itu, para Pemohon diharapkan untuk dapat melakukan elaborasi terkait kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya pasal yang diujikan.
Selanjutnya, Maria pun meminta agar para Pemohon menjelaskan lebih rinci kedudukan hukum para Pemohon. “Siapa sebenarnya para Pemohon dan apakah dapat dijelaskan para Pemohon ini memiliki hak konstitusional yang diatur dalam konstitusi yang kemudian dilanggar oleh suatu UU. Jadi, di sini tidak dijelaskan kerugian apa yang ada dan diderita Pemohon. Itu penting. Hal yang dilanggar harus spesifik. Anda sebutkan putera daerah, tetapi hak yang mana yang dilanggar dari pemberlakuan UU a quo?” tanya Maria pada para Pemohon.
Selain itu, Maria pun meminta para Pemohon menguraikan bukti serta keterkaitan bunyi pasal yang diujikan dan dilanggar sehingga jelas rangkaian pasal-pasal yang merugikan hak konstitusional para Pemohon.
“Untuk itu, alat bukti dilengkapi. Jadi, Mahkamah pun dapat melihat secara keseluruhan dan tolong jelaskan legal standingpara Pemohon, karena kalau tidak jelas maka perkara ini tidak akan sampai pada tahap sidang pleno,” urai Maria.
Saldi Isra pun memberikan tanggapan terkait dengan kerugian konstitusional para Pemohon. Dalam nasihatnya, Saldi meminta para Pemohon agar melakukan eksplorasi dengan keistimewaan Aceh yang dimaksudkan Pasal 18B UUD 1945 utamanya tentang penyelenggaraan pemilu.
“Dengan begitu, Mahkamah bisa melihat wujud kerugian yang dialami para Pemohon. Mahkamah tidak hanya menguji pertentangan UU dengan pasal-pasal, tetapi harus ada rujukan yang jelas. Ini adalah soal serius. Jadi, harap pertajam kerugian konstitusionalnya seperti apa saja,” sampai Saldi.
Pada akhir persidangan, Anwar pun meminta agar para Pemohon dapat memperbaiki permohonan hingga Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB agar dapat dilanjutkan pada agenda persidangan selanjutnya. Sidang berikutnya beragenda memeriksa perbaikan permohonan. (Sri Pujianti/LA)