Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Sidang pembacaan Putusan Nomor 105/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Kamis (28/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah menilai Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) selaku Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Para Pemohon ternyata tidak menegaskan kedudukan hukum sebagai perseorangan warga negara Indonesia atau sebagai Forum Advokat Muda Indonesia. Dalam kualifikasi sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dengan bertolak dari uraian para Pemohon sendiri, maka yang nyata-nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah warga negara Indonesia yang menjadi klien para Pemohon. Sementara itu, dalam kualifikasi sebagai Forum Advokat Muda Indonesia, Mahkamah tidak menemukan dalam uraian permohonan para Pemohon mengenai badan hukum Pemohon. Oleh karena itu, dalam kualifikasi sebagai Forum Advokat Muda Indonesia pun para Pemohon tidak menderita kerugian hak konstitusional.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan dalam paragraf di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan Pendapat Mahkamah.
Sementara terkait dalil permohonan Pemohon menyebut saat ini masih banyak Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non-executable (tidak dapat dijalankan), sehingga tidak cukup apabila hanya berharap pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya, untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan sukarela tanpa adanya upaya mewajibkan untuk mematuhi. Pemohon berpendapat, setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh dan taat pada putusan Mahkamah Konstitusi, manakala ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang (tidak melaksanakan) putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya pejabat publik tersebut tidak layak lagi sebagai pengemban pejabat publik, dan sebagai konsekuensinya harus diberhentikan dari jabatan publik tersebut.
Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah menjelaskan dengan merujuk Pasal 1 angka 18 UU Administrasi Pemerintahan, Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai bagian dari cabang kekuasaan kehakiman di bawah lingkungan Mahkamah Agung. Sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, lanjut Saldi, kekuasaan kehakiman adalah penyelenggara peradilan atau disebut pengadilan. Adapun pelaku kekuasaaan kehakiman sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, Undang-Undang a quo mengatur tentang administrasi pemerintahan sehingga pembicaraan tentang pengadilan pun dalam konteks administrasi pemerintahan atau tata usaha negara. Hal tersebut sebab pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili keputusan pejabat administrasi atau tata usaha negara adalah PTUN, sehingga wajar jika Undang-Undang a quo menekankan kewajiban pejabat administrasi atau tata usaha negara untuk mentaati putusan PTUN. Mahkamah pun menilai sekalipun yang dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 18 UU Administrasi Pemerintahan adalah PTUN, hal itu tidak dapat dijadikan alasan oleh penyelenggara negara untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi maupun putusan pengadilan-pengadilan lainnya dalam empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
“Sebab setiap putusan pengadilan mengikat bukan hanya warga negara tetapi juga negara atau pemerintah. Hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dalam negara hukum. Oleh karena itu, penambahan frasa ‘Mahkamah Konstitusi dan…’ sebagaimana dimohonkan para Pemohon tidaklah diperlukan,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)