Sukirno, warga Desa Sidasari, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, memperbaiki permohonan uji aturan batasan usia untuk menjadi perangkat desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa (UU Desa). Sidang kedua permohonan dengan Nomor 65/PUU-XV/2017 tersebut digelar pada Senin (2/10) di Ruang Sidang MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut, Sukirno memaparkan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Ia memperkuat dalil terkait kedudukan hukum Pemohon. Selain itu, Pemohon juga melampirkan mengenai pembagian usia produktif.
Pemohon yang hadir tanpa didampingi oleh kuasa hukum menguji Pasal 50 ayat 1 huruf b UU Desa. Pasal 50 ayat (1) huruf b menyatakan:
“Perangkat Desa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48, diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. ......;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;”
Sukirno merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya ketentuan tersebut. Ia menyebut pasal tersebut menghalanginya mencalonkan diri sebagai perangkat desa karena usianya sudah melewati 10 bulan dari UU Desa. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa mengekang, dan memberi pembatasan, serta tidak memberi kesempatan yang sama kepada Pemohon. Padahal, lanjutnya, ia masih dalam usia produktif dan berniat ingin berkarya menjadi Perangkat Desa. Berdasarkan pengelompokan usia produktif yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), definisi kelompok usia produktif sebagai kelompok yang mampu menghasilkan produk atau jasa adalah yang berada dalam rentang usia 15 tahun sampai dengan 64 tahun.
Selain itu, Pemohon menguraikan jika dirinya telah memahami pertimbangan perspektif batas kecakapan/kemampuan fisik dan psikis yang dibutuhkan untuk menjadi perangkat desa. Hal tersebut akan memberikan jaminan kualitas layanan kepada warga. Namun, Pemohon menilai batas usia yang dimaksud seharusnya dimaknai sebagai batasan kondisi seseorang yang memasuki usia yang kurang atau tidak cakap lagi dalam memberikan pelayanan sehingga harus berhenti dari pekerjaan atau profesinya. Kemudian, Pemohon juga berpendapat, seharusnya pemerintah mengharmonisasi batas usia profesi penyelenggara administrasi pemerintahan lainnya, semisal dengan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Secara filosofis, Sukirno menerangkan tidak ada alasan untuk membeda-bedakan batasan usia maksimal penyelenggara administrasi pemerintahan. Justru sebaliknya, jelasnya, Pemerintah (dalam hal ini Pembuat Undang-Undang) harus membuka berbagai kemungkinan bagi warga negaranya untuk dapat bekerja, termasuk bekerja dalam urusan pembantuan penyelenggaraan administratif Pemerintahan Desa. Secara sosiologis, menurut Pemohon, Pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja dengan mendasarkan pada sistem pengelompokkan usia bagi warga negaranya, terlebih pada situasi bonus demografi saat ini hingga 20-30 tahun ke depan. Lalu, secara yuridis, pembatasan usia maksimal seseorang untuk mencalonkan/mendaftarkan diri menjadi penyelenggara suatu profesi tertentu, dilakukan haruslah wajar dan masuk akal (reasonable and rational) sedemikian rupa, tanpa menghilangkan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya. (Lulu Anjarsari)