Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Jayapura dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait, Bawaslu RI, dan Bawaslu Provinsi Papua, Rabu (28/9). Tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Jayapura mengajukan permohonan, yakni Jansen Monim dan Abdul Rahman Sulaiman (Perkara Nomor 58/PHP.BUP-XV/2017), Godlief Ohee dan Frans Gina (Perkara Nomor 59/PHP.BUP-XV/2017), serta Yann dan Zadrak Afasedanya (Perkara Nomor 60/PHP.BUP-XV/2017).
Termohon dari KPU RI dan KPU Provinsi Papua yang diwakili Heru Widodo menilai Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. Pemohon dinilai tidak memenuhi ambang batas 2%. Karena jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura dalam penyelenggaraan pemilihan serentak tahun 2017 adalah 238.744 jiwa sehingga presentasi ambang batas perbedaan suara dalam perkara ini adalah maksimal 2%.
“Dengan memperhatikan syarat ambang batas maksimal pemohon untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah, 2% kali suara sah 58.231 suara sehingga ketemu 1.165 suara, maka tidak ada satu pun perbedaan selisih suara antara ketiga Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak yang memenuhi ambang batas maksimal 2% sehingga para pemohon tidak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum,” ujar Widodo dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.
Lebih lanjut, Kuasa Hukum Termohon juga mengklarifikasi pernyataan Panitia Pemungutan Suara atau PPS Hinekombe. PPS Hinekombe menyatakan di TPS 11 terdapat beberapa nama anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS yang sesuai dengan SK KPPS, namun tidak dapat hadir dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang di TPS. “Alasannya, supaya tidak kewalahan dalam melaksanakan proses pungut hitung suara dari tahapan pencoblosan sampai dengan rekapitulasi perhitungan suara,” jelas Widodo.
Termohon juga menegaskan dengan memperhatikan selisih perolehan suara yang di atas 50% setelah melalui koreksi dengan pemungutan suara ulang, maka pemilihan yang berjalan secara demokratis tersebut menjadi sangat ironis apabila harus dibatalkan hanya dengan bukti formil terjadinya pelanggaran administratif. Seharusnya ada bukti lebih lanjut yang berdampak bagi kemenangan bupati petahana dan juga berdampak bagi kekalahan Pemohon.
Sementara itu, Pasangan Calon Nomor Urut 2 Mathius Awotiauw dan Giri Wijiantoro selaku Pihak Terkait juga mendalilkan hal serupa. Perbedaan selisih suara para Pemohon dengan Pihak Terkait lebih dari 50%, padahal ambang batas adalah 2% atau 1.165 suara. “Karena itulah maka kami menyatakan bahwa Pemohon tidak memliki kedudukan hukum,” jelas Basari.
Pihak Terkait juga membantah telah melakukan tindak pidana Pilkada terkait politik uang. Hal ini dibuktikan dengan adanya Putusan Pengadilan Negeri Jayapura. Dalam pertimbangan hukumnya, PN Jayapura menjelaskan tidak ada soal politik uang dan tidak ada sama sekali keterkaitan dengan Pasangan Calon Nomor Urut 2 (Pihak Terkait). Selain itu, Pihak Terkait menilai kasus ini juga bukan merupakan alasan dilakukannya PSU, melainkan murni tindak pidana Pilkada dan telah selesai dengan vonis pengadilan. (Bayu W/LA)