Ketentuan kedaluwarsa utang atas beban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) tidak berlaku bagi jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XV/2016 yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi lainnya pada Kamis (28/9).
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai diberlakukan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua,” ucap Arief membacakan amar putusan.
Burhan Manurung yang merupakan Pensiunan Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil (ASN/PNS) Kementerian Perdagangan menyebut hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Pasal tersebut berbunyi “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang”. Pemohon menganggap adanya pasal a quo mengakibatkan Pemohon dan keluarganya tidak dapat menerima uang pensiun sepenuhnya dari PT. Taspen.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut, jaminan pensiun dan jaminan hari tua sesungguhnya adalah bukan utang negara, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara. Sesuai dengan UU ASN, lanjut Wahiduddin, negara harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan melaksanakan amanat perlindungan kesinambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) UU ASN. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan yang berkesinambungan adalah mereka yang mempunyai hak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua tidak boleh dilakukan pengurangan waktu untuk menerima jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Terlebih lagi, tambahnya, Pasal 91 ayat (3) UU ASN tegas menyatakan hal tersebut bukan semata-mata hak, tetapi sekaligus merupakan penghargaan dari negara atas pengabdian yang telah diberikan oleh ASN yang bersangkutan.
“Dengan demikian sepanjang berkenaan dengan jaminan pensiun dan jaminan hari tua tidak boleh diberlakukan ketentuan kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara,” urai Wahiduddin.
Wahiduddin melanjutkan pertimbangan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara harus dikaitkan dengan Pasal 91 ayat (3) UU ASN dibutuhkan, sehingga merupakan keharusan, guna menjamin terpenuhinya hak atas pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika keberadaan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara tidak dikaitkan dengan keberadaan Pasal 91 ayat (3) UU ASN, maka akan terjadi disharmoni antar undang-undang yang bermuara pada lahirnya ketidakpastian hukum.
“Sebab, di satu pihak, jaminan pensiun dan jaminan hari tua oleh Pasal 91 ayat (3) UU ASN tegas dinyatakan sebagai hak yang harus dijamin kesinambungannya, di lain pihak, oleh Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara hal itu dapat dianggap sebagai utang negara yang hak tagihnya ditundukkan pada pemberlakuan masa kedaluwarsa,” tambah Wahiduddin.
Peran Aktif Lembaga
Selanjutnya Mahkamah juga perlu mempertimbangkan bahwa hak atas pensiun dan jaminan hari tua timbul salah satunya dikarenakan ASN/PNS telah mencapai batas usia pensiun. Hal ini dibuktikan secara administratif melalui surat keputusan pensiun dan Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) yang diterbitkan oleh satuan kerja kementerian/lembaga yang bersangkutan dan disahkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Dalam pelaksanaan pembayaran pensiun, sebagaimana disampaikan kuasa Presiden dalam keterangannya di hadapan Mahkamah, oleh karena dikategorikan sebagai utang negara, sehingga berlaku kedaluwarsa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Persoalannya, lanjut Wahiduddin, adalah apabila ada keterlambatan penerbitan SKPP sehingga waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara terlewati yang menjadikan uang pensiun yang merupakan utang kerja menjadi kedaluwarsa, sehingga penerima pensiun hanya dibayar uang pensiun maksimum 5 (lima) tahun. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, hal demikian menjadi tidak adil ketika hanya dibebankan kepada ASN/PNS.
“Karena di antaranya juga diperlukan peran aktif dari lembaga atau instansi dimana ASN/PNS itu mengabdi, khususnya berkaitan dengan penerbitan SKPP yang menjadi dasar dibayarkannya tunjangan pensiun dan tunjangan hari tua oleh PT Taspen (Persero). Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandasnya.(Lulu Anjarsari)