Sebanyak 30 orang yang tergabung dalam Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) di Kementerian Pertanian (Kementan) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/9) siang. Kepala Bidang Penelitian, Pengkajian Perkara dan Perpustakaan MK Wiryanto menerima para peserta di Ruang Delegasi Gedung MK.
Dalam pertemuan itu Wiryanto menerangkan sejarah terbentuknya MK di Indonesia. Pada masa perjuangan, gagasan membentuk MK sudah terlontar oleh tokoh nasional Mohammad Yamin. Namun idenya ditolak tokoh lainnya, Soepomo karena situasi kondisi belum memungkinkan saat itu dikarenakan belum banyaknya sarjana hukum yang menguasai hukum tata negara. Bertahun-tahun kemudian ide untuk membentuk MK kembali bergulir pasca Reformasi 1998 yang berujung pada perubahan UUD 1945.
“Mahkamah Konstitusi lahir dari proses reformasi yang bergulir di 1998 dan diikuti amandemen UUD 1945. Keinginan membentuk MK muncul di dalam amandemen, terutama amandemen ketiga,” ujar Wiryanto.
Dikatakan Wiryanto, keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan disebutkan dalam Pasal 24 UUD 1945 ayat (1), “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan ayat (2) berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Wiryanto menerangkan, Mahkamah Konstitusi terbentuk dengan dasar hukum Pasal 24C UUD 1945 yang memuat kewenangan Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan dimaksud yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan satu kewajiban konstitusional yang dimiliki MK yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Masih terkait MK, Wiryanto menguraikan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan uji materi ke MK. Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.”
Hal lainnya, sambung Wiryanto, mereka yang ingin berperkara di MK tidak dikenakan biaya sepeser pun. Selanjutnya menyinggung persidangan MK, terdapat beberapa tahap. Sidang pertama adalah pemeriksaan pendahuluan, sedangkan sidang berikutnya adalah perbaikan permohonan. Setelah itu berlanjut dengan sidang pembuktian dengan mendatangkan para saksi, ahli, para pihak dan sebagainya. Terakhir adalah sidang pengucapan putusan. (Nano Tresna Arfana/LA)