Dana haji berpotensi meningkat nilai manfaatnya jika diinvestasikan. Demikian disampaikan oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI Nizar Ali yang mewakili Pemerintah dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji). Sidang ketiga permohonan yang diajukan oleh Muhammad Sholeh digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (26/9).
Menurut Pemerintah, akumulasi dana haji yang menumpuk akibat masa tunggu kuota dari pihak Arab Saudi tersebut memiliki banyak potensi. Salah satu nilai manfaat adalah meningkatnya dukungan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas, rasional, dan efisien bagkemaslahatan umat Islam.
“Jadi, peningkatan nilai manfaat dana jamaah haji itu hanya bisa dicapai melalui pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Untuk menjamin terwujudnya kesempurnaan pengelolaan keuangan haji tersebut telah tercakup dalam proses dibentuknya UU a quo,” ujar Nizar dalam sidang Perkara Nomor 51/PUU-XV/2017 tersebut.
Pemerintah pun menilai Pemohon telah salah menafsirkan makna investasi yang penuh kehati-hatian dengan prinsip syariah yang menguntungkan tersebut. Pada hakikatnya, setiap investasi dalam bentuk apapun akan mengalami risiko kerugian. Jadi, pihak yang utama mengalami kerugian adalah BPKH dan bukan Pemohon.
“Dengan demikian, adanya ketentuan setoran awal jemaah haji oleh BPKH dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat dan likuiditas, serta kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian pengelolaan dalam penempatan investasi keuangan haji yang ditanggung secara renteng oleh anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas BPKH,” urai Nizar di hadapan Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Adapun terkait dalil Pemohon yang menyatakan setoran awal BPIH yang terlampau besar jumlahnya, Pemerintah menerangkan pemberlakuan setoran awal tersebut bertujuan memberikan jaminan hukum bagi setiap calon jamaah haji. Di samping itu, Nizar menambahkan besarnya setoran awal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kemampuan finansial dan keseriusan dari calon jamaah haji serta filter bagi calon pendaftar jamaah haji. Apabila setoran awal rendah, lanjutnya, dikhawatirkan jamaah akan dengan mudah mendaftarkan atau membatalkan diri untuk keberangkatannya.
“Jika setiap WNI yang beragama Islam menyetorkan BPIH sangat rendah, justru hal tersebut dapat memperpanjang daftar tunggu sehingga menimbulkan kekacauan, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum karena penyelenggaraan haji membutuhkan perencanaan, pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan profesional,” tegas Nizar.
Nizar juga menyampaikan materi pasal yang diuji tidak dengan pasal per pasal, tetapi haruslah secara runtun. Secara garis besar, UU PKH tersebut dibentuk atas dasar ibadah haji adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan setiap orang Islam yang penyelenggaraannya sangat dipengaruhi oleh kebijakan kuota dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Oleh karena itu, penyelenggaraannya harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap WNI yang beragama Islam.
Bentuk Investasi Dana Haji
Dalam keterangan tambahan Pemerintah, Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI Ramadhan Harisman menyayangkan jika dana haji tidak dimanfaatkan melalui investasi perbankan. Apalagi dana haji tersebut makin meningkat karena calon jamaah haji yang mendaftar semakin banyak. Harisman menyebut UU Pengelolaan Dana Haji justru akan memperluas manfaat investasi tumpukan dana.
“Dalam perhitungan riilnya, seorang jamaah haji pada 2017 membayar sebesar Rp34.800.000,-, sedangkan dana yang dibuuhkan mencapai Rp61,5 juta rupiah per jamaah. Melalui dana investasi tersebutlah Pemerintah menutupi kekurangan pembiayaan ibadah haji setiap jamaah,” terang Harisman.
Adapun wujud dari produk investasi yang dilakukan Pemerintah untuk dana haji tersebut hanya pada surat berharga syariah negara dan produk perbankan syariah. Keduanya, lanjut Harisman, telah dijamin undang-undang dan risiko pengelolaannya sangat rendah dengan manfaat yang tinggi.
Pada akhir persidangan, Arief pun menyampaikan sidang akan dilanjutkan pada Senin, 9 Oktober 2017. Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan saksi serta ahli dari Pemohon.
Dalam permohonannya, Sholeh mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya tiga pasal, yakni Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU Pengelolaan Keuangan Haji. Pemohon mendaftar sebagai calon jamaah haji pada Kantor Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur menyetorkan dana sebesar Rp20 juta pada 13 Februari 2008 lalu. Akan tetapi, Pemohon tidak pernah dijelaskan jika uang yang disetorkan tersebut akan diinvestasikan. Menurut Pemohon, hal ini merugikan hak konstitusional Pemohon, apabila uang Pemohon dipakai untuk investasi tanpa persetujuan. Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan keberlakuan ketiga pasal tersebut. (Sri Pujianti/LA)