Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima permohonan uji ketentuan mengenai batas waktu pendaftaran permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada). Permohonan uji materi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) - Perkara No. 11/PUU-XV-2017 diajukan oleh Heru Widodo serta beberapa Pemohon lainnya.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Arief Hidayat selaku Ketua Pleno didampingi para Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (20/9) siang.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan batas pengajuan permohonan kepada MK dalam Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada semakin dipersempit, yang semula 3 x 24 jam kemudian berubah menjadi “3 hari kerja sejak diumumkan penetapan perolehan suara”. Hal ini berarti para Pemohon hanya diberi kesempatan 2 hari kerja efektif (16 jam efektif) untuk mengajukan permohonan. Pembatasan sebagaimana ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut tidak menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut para Pemohon, aturan tersebut justru berpotensi menimbulkan pergolakan keamanan dan ketertiban umum disebabkan frustasi sosial masyarakat pada akar rumput.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah menilai para Pemohon tidak secara spesifik menerangkan hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Terutama, dalam kedudukan para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat.
“Dengan penalaran yang sederhana pun dapat dilihat bahwa pihak yang mungkin dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang a quo adalah warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah. Sementara Pemohon bukanlah berada dalam kualifikasi demikian,” urai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, andaikatapun uraian para Pemohon dianggap sebagai kerugian hak konstitusional, hal itu baru akan terjadi apabila para Pemohon bertindak dalam kapasitas sebagai kuasa hukum seorang warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Itupun setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah. “Bukan serta merta lahir semata-mata karena kedudukan atau profesi Pemohon sebagai advokat, sebagaimana halnya dalam permohonan a quo,” imbuh Palguna.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai advokat yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada.
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana/LA)