Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Perkara Nomor 11/PUU-XIV/2016 terkait kewenangan pengelolaan panas bumi tersebut diajukan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Arief Hidayat yang didampingi para Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (20/9) siang.
Pemohon mewakili Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkeberatan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UU Panas Bumi dan Lampiran cc, angka 4 Pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU Pemda yang hanya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk memberikan izin pengelolaan panas bumi. Menurut Pemohon hal ini bertentangan dengan prinsip otonomi yang diberikan pada daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945.
Setelah memeriksa dengan saksama dalil Pemohon, keterangan Presiden maupun keterangan DPD, Mahkamah mempertimbangkan bahwa kebutuhan energi yang meningkat seharusnya diimbangi dengan penyediaan energi yang memadai. Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar untuk menjadi energi yang diandalkan.
Mahkamah berpendapat panas bumi yang merupakan sumber energi baru terbarukan sebagai sub-urusan pemerintahan konkuren pilihan yang kewenangannya dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi, tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Sepanjang penentuannya mendasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan kepentingan strategis nasional,” kata Wakil Ketua MK Anwar Usman yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah juga menegaskan Pasal ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) c dan Pasal 23 ayat (2) UU Panas Bumi serta Lampiran cc, angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan pada UU Pemda yang memberikan kewenangan penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung, termasuk kewenangan pemberian izin kepada pemerintah pusat tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kemudian, Anwar menyebut keberadaan maupun karakter panas bumi tidak memungkinkannya untuk dibagi-bagi secara administratif, baik dalam konteks provinsi dan lebih-lebih dalam konteks kabupaten/kota. Hal itu diketahui dari keterangan ahli geotermal di hadapan Mahkamah yang menerangkan sistem panas bumi Indonesia memiliki karakter unik yang bersifat lintas daerah administratif. Penetapan wilayah didasarkan bukan atas wilayah administratif, melainkan berdasarkan keberadaan sumber panas bumi tersebut.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Anwar. (Nano Tresna Arfana/LA)