Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali dimohonkan uji materiil oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tengku Muharuddin serta Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia. Sidang perdana perkara yang teregistrasi Nomor 66 dan 67/PUU-XV/2017 tersebut digelar Selasa (19/9). Dalam permohonannya, para Pemohon menguji materiil Pasal 557 dan Pasal 571 huruf (d) (Pemohon 66) serta Pasal 173 ayat (3) juncto Pasal 173 ayat (1) (Pemohon 67) UU Pemilu.
Pemohon Perkara 66, diwakili Mukhlis selaku kuasa hukum, menyampaikan kedudukan hukum Pemohon sebagai Ketua DPRA. Pemohon adalah wakil dari sebuah lembaga negara yang mewakili rakyat pada daerah otonomi dan bersifat khusus. Menurutnya, pasal yang diujikan berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang,”. Menurut Pemohon, penyusunan UU Pemilu tidak diawali dengan konsultasi dan pertimbangan dari DPRA sebagaimana diakui dan diberikan oleh Pasal 18B UUD 1945 tersebut.
“Jadi, sesuai dengan Pasal 18B UUD 1945, bahwa negara mengakui kesatuan-kesatuan daerah yang khusus atau istimewa. Menurut ketentuan itu, eharusnya ada konsultasi karena UU Pemerintahan Aceh itu lahir dari sejarah panjang Aceh,” jelas Mukhlis di hadapan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.
Selanjutnya, Pemohon perkara 67, melalui kuasa hukum M. Maulana Bungaran, menyampaikan bahwa Pemohon merupakan partai politik yang berhak menjadi peserta pemilu. Namun, menurut Pemohon, ketentuan yang ada pada Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu akan menghasilkan pemilu yang tidak adil.
Menurut Maulana, pada pasal a quo sepanjang frasa “...telah lulus verifikasi dengan syarat...” bermakna diskriminatif. Sebab, frasa tersebut memaknai ada parpol yang telah lulus verifikasi, sedangkan Pemilu 2019 belum dimulai. Dengan demikian, seharusnya Pemohon dapat menggunakan sarana yang tersedia secara hukum memenuhi syarat-syarat sebagai peserta pemilu dan pasal a quo wajib mengakomodasi para peserta yang telah disahkan atau ditetapkan secara hukum memenuhi syarat sebagai peserta pemilu tersebut.
“Oleh karena itu, kami mendalilkan asas keadilan sebagai peserta pemilu. Bahwa partai kami pada 2009 telah melalui verifikasi Kemenkumham sehingga tidak ada aturan bagi KPU untuk melakukan verifikasi faktual terhadap pengurus dan kantor sekretariat partai kami. Di samping itu, tidak ada pendelegasian wewenang kepada KPU untuk membuat tata cara penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan peserta pemilu,” tegas Maulana.
Nasihat Hakim
Menanggapi pokok permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan beberapa catatan. Terhadap Perkara 66, Palguna memberikan catatan terkait kesamaan perkara yang diajukan dengan Perkara 61 yang sudah diperiksa sebelumnya. Untuk itu, Mahkamah memberikan alternatif jika Pemohon Perkara 66 bersedia untuk menjadi Pihak Terkait pada perkara yang mendalilkan hal yang sama. Namun, jika Pemohon tidak bersedia maka perlu dilakukan perbaikan permohonan, di antaranya terkait legal standing Pemohon yang merupakan Ketua DPRA. Palguna mempertanyakan apakah permohonan yang diajukan sudah melalui sidang pleno DPRA dan siapa yang berhak serta berwenang dengan dan atas nama DPRA. Selain itu, Pemohon perlu memberikan argumen yang jelas mengenai dirinya yang mengatasnamakan diri sebagai lembaga negara. Selanjutnya, Pemohon pun perlu melakukan elaborasi terhadap keterhubungan pasal a quo dan ruh dari Pasal 18B UUD 1945 sehingga terlihat kerugian konstitusional Pemohon.
Adapun untuk Perkara 67, Palguna meminta agar Pemohon yang merupakan partai politik menguraikan kekuatan legal standing Pemohon yang ada dalam AD/ART parpolnya. “Perlu dijelaskan bagian dari AD/ART yang menyatakan wewenang dari Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal sehingga Mahkamah dapat melihat kewenangan pada dua orang ini atas nama partai karena itu penting,” pinta Palguna pada Pemohon yang diwakili kuasa hukum.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams pun terhadap Perkara 66 memberikan nasihat agar Pemohon menjelaskan keistimewaan dari DPRA sebagai lembaga negara seperti yang disebutkan pada pokok permohonan. Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto, meminta kepada Pemohon Perkara 66 untuk mempertegas konsteks kerugian konstitusional yang dinilai belum komprehensif.
“Saya belum melihat secara jelas dalam konteks apa kerugiannya dengan adanya pasal ini? Secara substansi isi pasal ini mengenai jumlah KIP untuk propinsi dan kabupaten yang berasal dari masyarakat. Jadi, perlu dielaborasi kembali jika Pemohon tetap maju sebagai Pemohon dan tidak sebagai Pihak Terkait bagi Perkara 61,” tegas Aswanto.
Di akhir persidangan, Palguna menyampaikan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan hingga batas waktu perbaikan permohonan pada Senin, 2 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB.
(Sri Pujianti/lul)