Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), Rabu (20/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan untuk perkara Nomor 69/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan sejumlah korban bencana dan aktivis, yakni Sarwin, Imam B. Prasodjo, Andy F. Noya, dan Rulany Sigar.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan atas perkara yang teregistrasi pada 31 Agustus 2016 lalu tersebut.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 44 ayat (1) UU P3H bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 44 ayat (1) UU P3H menyatakan “Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.”
Mahkamah menilai konstitusionalitas norma yang termuat dalam pasal yang diujikan tidak dapat dilepaskan dari dasar pemikiran yang melandasi diundangkannya UU P3H. Menurut Mahkamah, dari konsiderans “Menimbang” pada UU P3H tampak jelas dan tegas bahwa norma tersebut lahir karena makin meluasnya perusakan hutan yang telah berkembang menjadi kejahatan luar biasa, bahkan telah menjadi kejahatan terorganisasi sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU P3H. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan permohonan a quo, pasal yang diujikan adalah bagian dari fungsi pengawasan negara yang tidak terlepas dari mencapai tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan permohonan a quo yang menghendaki pemanfaatan kayu hasil pembalakan liar untuk kepentingan sosial, Mahkamah sungguh menghargai dan memberi apresiasi terhadap nilai mulia tersebut. Mahkamah menilai tujuan mulia tersebut dapat diwujudkan oleh ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU P3H yang berbunyi “Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk kepentinagn publik atau kepentingan sosial.”
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Legal Standing
Dalam Putusan tersebut, Mahkamah menyatakan sejumlah Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo, yakni Andy F. Noya (Pemohon III) dan Rulany Sigar (Pemohon IV). Mahkamah berpendapat kedua Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak selalu Pemohon dalam permohonan a quo.
Adapun Sarwin (Pemohon I) dan Imam B. Prasodjo (Pemohon II) dinilai Mahkamah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. Sarwin adalah orang tua dari salah satu anak didik pada pendidikan anak usia dini (PAUD) yang sekolahnya hancur akibat bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Untuk itu, pihaknya mengajukan permintaan bantuan dana kepada Yayasan Nurani Dunia untuk membangun kembali sekolah yang sudah hancur. Namun usaha tersebut tidak terpenuhi karena adanya ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU P3H. Dengan demikian, Pemohon I secara aktual telah mengalami peristiwa yang merugikan tersebut mengalami kerugian hak konstitusionalnya.
Selanjutnya, Pemohon II, dalam kapasitasnya selaku aktivis sejumlah yayasan yang bergerak dalam bidang sosial, mengajukan permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal permohonan pemanfaatan kayu di BKSDA Jawa Tengah agar kayu hasil pembalakan hutan konservasi yang tidak digunakan agar dapat dioptimalkan untuk keperluan sosial dan pendidikan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon II memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo.
“Menimbang berdasarkan pertimbangan permohonan, Mahkamah berpendapat Pemohon I dan II memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan Pemohon III dan IV tidak memiliki kedudukan hukum,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan hukum.
(Sri Pujianti/lul)