Sidang uji materiil Pasal 69 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/9). Pemohon perkara Nomor 69/PUU- XV/2017 adalah Donny Christian Langgar yang berprofesi sebagai teknisi pendingin udara atau air conditioner (AC).
Pemohon menguji ketentuan Pasal 69 UU MA yang mengatur batas waktu peninjauan kembali, yakni dapat dilakukan dalam tenggang waktu 180 hari. Pemohon mengharapkan MK dapat menafsirkan hukum perdamaian terkait pasal tersebut sehingga pihak berperkara tidak mesti menempuh PK dan dapat menempuh jalan damai.
Adapun Pasal 69 UU MA menyatakan:
“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”
Donny menyebut pihaknya merasa terhalang untuk turut serta dalam pembangunan hukum nasional karena pemberlakuan pasal a quo. Selain itu, ia juga merasa terhalang untuk meningkatkan kualitas hidup karena tidak dapat merekayasa hukum melalui pengadilan umum agar terlepas dari kemiskinan. Dalam persidangan, Pemohon mengaku sebelumnya berperkara di Mahkamah Agung (MA) dan sudah menerima berita putusan dengan Nomor 151/E/05/979 K/PDT/04. Meski demikian, Pemohon tak menjelaskan detail perkara yang dijalaninya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra yang memimpin persidangan memberikan nasihat terkait tiga hal dari permohonan tersebut. Pertama, MK hakikatnya tidak menguji kasus konkret. “MK itu menguji norma undang-undang terhadap UUD 1945. Kasus konkret bisa digunakan tetapi hanya sebagai pintu masuk ke dalam norma undang-undang,” tegasnya.
Kedua, Saldi belum melihat jelas bentuk kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Pada bagian mana dari undang-undang tersebut yang dapat merugikan Pemohon. “Ini perlu diperjelas dan ditajamkan lagi,” tegasnya.
Ketiga, Saldi menilai format permohonan Pemohon masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, ia meminta Pemohon agar memperbaikinya dengan melihat contoh permohonan yang sudah ada di MK.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menegaskan MK tidak menangani kasus konkret. Maria menjelaskan MK hanya dapat mengadili norma dalam suatu undang-undang. “Hal yang dapat diselesaikan MK misal adanya pertentangan pasal, ayat, atau norma dalam undang-undang terhadap UUD,” jelasnya.
Maria juga mempersoalkan kerugian konstitusional yang harus diurai lebih mendalam. Jika bagian itu tidak jelas, maka kedudukan hukum menjadi tidak ada. Artinya permohonan Pemohon tak bisa berlanjut ke sidang berikutnya.
“Mungkin ini dilandaskan pada suatu kasus konkret dimana Pemohon pernah berkasus di pengadilan. Selanjutnya, pengadilan tidak memenuhi keinginan bapak dan bapak merasa dirugikan. Nah, itu yang harus dirumuskan secara jelas karena kemungkinan dari kasus konkret itu bisa bapak mengajukan judicial review,” tegasnya.
(ARS/lul)