Sejumlah Pemohon yang terdiri atas perseorangan WNI dan parpol memperbaiki permohonan atas pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Senin (18/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Sidang digelar untuk empat perkara, yakni perkara Nomor 59, 60, 61, dan 62/PUU-XV/2017.
Dosen Komunikasi Politik UI Effendi Gazali (Pemohon 59) mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan kenyataan baru demokrasi Indonesia yang akan melaksanakan Putusan MK terkait pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Pihaknya menilai bahwa Pasal 222 masih merupakan ruh dari UU Pemilu sebelumnya yang bukan merupakan pemilu serentak. Padahal, pembentuk undang-undang, yakni DPR bersama Pemerintah, seharusnya membuat UU Pemilu yang sesuai dengan ruh pemilu serentak. Menurutnya, Pasal 222 tersebut secara umum membuat calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan bargaining politik terlebih dahulu dengan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
“Dengan demikian, terdapat tiga kerugian nyata Pemohon. Pertama, Pemohon akan kehilangan banyak pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, putra terbaik Indonesia yang layak diusulkan oleh parpol karena ambang batas pengusulan dalam pasal a quo yang secara tegas membatasi jumlah pilihan yang tersedia bagi Pemohon. Kedua, Pemohon akan cenderung disodorkan pasangan calon yang terpaksa harus melakukan negosiasi dan bargaining politik terlebih dahulu sehingga memengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Ketiga, dalam hal hak konstitusional, Pemohon telah melaksanakan hak untuk memilih pada pemilu DPR dan Presiden pada 2014, hasil dari hak memilih Pemohon pada Pemilu 2014 tersebut kemudian tidak mendapat jaminan dan kepastian hukum karena digunakan secara cenderung manipulatif,” jelas Effendi didampingi kuasa hukum Wakil Kamal.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) (Pemohon 60) menyampaikan legal standing Pemohon yang merupakan partai politik calon peserta Pemilu 2019. Surya Tjandra selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan bahwa Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PSI secara bersama-sama selaku pimpinan eksekutif tinggi dalam struktur PSI berwenang untuk mewakili PSI sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) AD/ART PSI.
“Oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama Dewan Pimpinan Pusat PSI sebagaimana isi dari Pasal 19 ayat (1) dan (2),” jelas Surya.
Di samping itu, pihaknya juga menegaskan bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang didirikan untuk memperjuangkan kepentingan umum, kepentingan politk anggota, masyarakat, bangsa, dan negara serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Bahwa dalam putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012, kedudukan hukum para pemohon diterima yang mana pemohon adalah partai politik,” tegas Surya di hadapan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.
Masih dalam pengujian UU Pemilu, Pemohon Nomor 61, Kautsar dan Samsul Bahri pun menyampaikan perbaikan permohonannya terkait dengan kekhususan Aceh termasuk dalam hal penyelenggaraan pemilu yang didasarkan pada nilai-nilai kekhususan yang terdapat dalam konsideran huruf b Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
“Maka, haruslah dimaknai sebagai bentuk yang berbeda dengan daerah lain tanpa harus dipertentangkan dan dipersamakan,” jelas Kamaruddin yang juga merupakan anggota DPRD Aceh dan juga sebagai salah satu tokoh yang mengambil bagian dalam inisiasi Perdamaian Aceh.
Pada kesempatan yang sama, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sebagai Pemohon Nomor 62 memperbaiki legal standing Pemohon. Diwakili Ricky K. Margono, Pemohon menyatakan memiliki kedudukan hukum dalam permohonan a quo sebagai partai politik berbadan hukum dan telah mendapatkan pengesahan sebagai Badan Hukum.
“Dengan demikian, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal berwenang mewakili dan bertindak atas nama Perindo sebagai Pemohon dalam Pengujian Pasal a quo di Mahkamah Konstitusi,” jelas Ricky.
Sebagai badan hukum publik, imbuh Ricky, Perindo didirikan untuk tujuan memperjuangkan kepentingan publik sebagaimana termuat dalam AD/ART Perindo.
Terkait dengan kerugian konstitusional Pemohon, Ricky pun menegaskan keberadaan Pasal a quo setidaknya potensial merugikan karena Perindo merupakan parpol yang telah bersiap diri untuk mengajukan pendaftaran sebagai peserta Pemilu 2019, sehingga secara langsung maupun tidak langsung, Pemohon akan bersentuhan dengan segala aturan dalam UU Pemilu tersebut tidak terkecuali ketentuan Pasal a quo.
(Sri Pujianti/lul)