Muhammad Sholeh, salah satu calon jamaah haji yang menguji aturan investasi terhadap dana haji yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji) memperbaiki permohonan. Sidang kedua perkara dengan Nomor 51/PUU-XV/2017 tersebut digelar pada Senin (11/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam perbaikan permohonannya, Sholeh yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan telah memmperbaiki permohonan terutama dalil permohonannya. Menurutnya, Pasal 24 huruf a, Pasal 46, serta Pasal 48 UU Pengelolaan Keuangan Haji mengandung ketidakpastian hukum yang mengakibatkan tidak ada perlindungan hukum bagi Pemohon. Ia menilai adanya investasi dana haji tidak memberikan perlindungan hukum.
“Fakta ini memperkuat bahwa undang-undang yang digugat oleh Pemohon ini tidak ada perlindungan hukum. Mestinya, dengan adanya dana yang jumlahnya mendekati Rp100 triliun harusnya tidak hanya untuk investasi, tapi juga memberikan bantuan dana talangan kepada calon jemaah haji yang kebetulan pada saat pelunasan tidak mampu membayar pelunasan,” jelasnya membacakan permohonan di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sholeh mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya tiga pasal, yakni Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU Pengelolaan Keuangan Haji.
Pasal 24 huruf a
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang: a. menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat.”
Pasal 46 ayat (2)
“(2) Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan.”
Pasal 48 ayat (2)
“(2) Penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.”
Pemohon mendaftar sebagai calon jamaah haji pada Kantor Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur dan menyetorkan dana sebesar Rp20 juta pada 13 Februari 2008 lalu. Akan tetapi, Pemohon tidak pernah dijelaskan jika uang yang disetorkan tersebut akan diinvestasikan. Menurut Pemohon, hal ini merugikan hak konstitusional Pemohon, apabila uang Pemohon dipakai untuk investasi tanpa persetujuan. Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan keberlakuan ketiga pasal tersebut.
(Lulu Anjarsari/lul)