Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Senin (4/9) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara teregistrasi Nomor 57/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan perseorangan warga negara Indonesia bernama Muhammad Hafidz.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 57 ayat (3) UU MK berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, menurutnya, terdapat potensi ketidaksegeraan para pihak terkait dalam menindaklanjuti setiap putusan MK dalam suatu perkara. Hal tersebut, dinilai Pemohon berpotensi menimbulkan kekosongan hukum.
Dalam upaya mendapatkan jaminan serta kepastian hukum, Pemohon yang berprofesi di sektor swasta telah berkali-kali mengajukan permohonan PUU ke MK. Pemohon mendapati bahwa pada perkara yang dikabulkan, MK tidak hanya menyatakan pasal atau ayat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat saja. Dalam putusannya, MK juga memberikan tafsiran konstitusional terhadap norma yang terkandung dalam pasal atau ayat yang diuji tersebut.
“Oleh sebab itu, keberadaan putusan MK yang bersifat final dan mengikat atas pengujian norma haruslah juga dianggap sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sampai Hafidz di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Pasal 57 ayat (3) UU MK menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan wajib dibuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan”. Ketentuan tersebut, menurut Pemohon, tidak menjamin putusan MK akan dilaksanakan dengan segera.
Pemohon mencontohkan Surat Edaran Menteri Kerja dan Transmigrasi RI Nomor SE-13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 tentang putusan MK Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Butir 4 Surat Edaran tersebut memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk melaksanakan pemutusan hubungan kerja dengan alasan mendesak meskipun oleh MK telah disyaratkan bahwa PHK dengan alasan kesalahan berat hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
“Dengan demikian, menurut Pemohon yang masih aktif sebagai pekerja, apabila mengalami PHK dan menimbulkan perselisihan hubungan industrial maka Pemohon mempunyai potensi dirugikan dengan hilangnya sebagian hak-hak Pemohon semisal upah selama proses hukum yang telah jelas-jelas dilindungi oleh putusan MK,” lanjut Hafidz dalam penjelasan kedudukan hukumnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyampaikan perlunya penegasan terhadap legal standing Pemohon. Menurutnya, pasal yang diujikan Pemohon tidak berhubungan dengan pekerjaannya. “Bagaimana Anda bisa memperkuat landasan untuk legal standing mengenai pasal yang diminta diuji ini dengan pekerjaan Anda,” tanya Maria pada Pemohon.
Ditambahkan pula, Maria meminta agar Pemohon menyempurnakan petitum yang tidak mungkin dilaksanakan. “Petitum-nya tidak mungkin pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan ini suatu yang seolah-olah MK dimohonkan memerintah Presiden untuk menindaklanjuti keputusannya melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang seperti yang disampaikan,” sampai Maria.
Senada dengan hal itu, Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul pun menegaskan sulitnya bagi Mahkamah dalam mengambil benang merah dari legal standing Pemohon. Diharapkan Pemohon bisa menemukan norma-norma lain yang berkaitan dengan keberatan Pemohon.
“Kalau dirunut pada pasal yang diujikan, itu tidak terlalu berhubungan dengan Pemohon. Bahkan yang ada kita terjebak sebagai positive legislator, sedangkan MK adalah negative legislator,” ujar Manahan.
Pada akhir persidangan, Anwar pun menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat pada Senin, 18 September Pukul 10.00 WIB.
(Sri Pujianti/lul)