Saksi yang dihadirkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Akbar menyatakan konten Dokter Layanan Primer (DLP) mirip dengan Program Dokter Keluarga. Hal tersebut disampaikan saat persidangan lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter), Senin (4/9).
Akbar selaku Saksi Pihak Terkait menyatakan 80 persen konten DLP sama dengan program dokter keluarga. Hal tersebut, menurutnya, yang mendasari IDI belum menyepakati penerapan program DLP.
“Saya tekankan sikap IDI tidak menolak Putusan MK terkait DLP. Namun kami masih belum sepakat dengan konten yang ada di dalam DLP,” jelasnya sembari menunjukkan paparan Pokja DLP dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Ketua Bidang Pendidikan IDI tersebut memaparkan kesamaan konten DLP dengan Program Dokter Keluarga akan menimbulkan berbagai efek negatif. Efek tersebut antara lain malpraktik, pelanggaran kode etik, serta overlapping kewenangan antar dua jenis dokter yang ada. “Ujung-ujungnya ini akan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat,” tegasnya dalam sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017.
Sementara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Suharizal menyebut IDI adalah state organ yang kewenangannya diatur dalam UU Praktik Kedokteran. Ia menyebut terdapat 16 norma yang menjelaskan kewenangan IDI yang diberikan negara.
Merujuk pada pendapat Hans Kelsen, Suharizal menjelaskan berbagai macam state organ, yakni yang diatur Konstitusi, diatur undang-undang, serta diatur oleh peraturan di bawah undang-undang. “IDI dalam konteks yang ada dikategorikan sebagai state organ diatur undang-undang,” tegas Ahli Pemohon tersebut.
Menurutnya, UU Nomor 29 Tahun 2004 tidak melarang adanya himpunan profesi dokter selain IDI. Namun dalam beberapa kewenangan, hanya IDI yang dapat melakukan tugas dan fungsi tertentu merujuk UU Praktik Kedokteran.
Konstitusionalitas DLP
Menanggapi keterangan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta klarifikasi pada saksi Pihak Terkait tentang kebenaran surat penolakan IDI untuk hadir dalam sosialisasi DLP. Selain itu, Suhartoyo menanyakan apakah IDI menerbitkan buku putih terkait penolakan DLP.
Akbar menjelaskan IDI menilai konteks DLP secara konten masih bermasalah sehingga IDI menganggap DLP belum selesai, namun DLP malah langsung masuk pada tahapan sosialisasi. “Saya ibaratkan barang belum jadi tapi sudah bahas lain-lain, jelas kami tidak sepakat,” jelasnya.
Terkait surat boikot untuk sosialisasi DLP yang dikeluarkan IDI, Akbar membenarkan hal tersebut. Akbar selaku pengurus besar IDI ikut dalam rapat pleno pengambilan putusan itu.
Sementara, Ketua MK Arief Hidayat meminta penjelasan potensi terjadinya konflik horizontal jika program DLP dilaksanakan. Akbar menyebut miripnya program DLP dengan Dokter Keluarga membuat masyarakat bingung akan diferensiasi tiap dokter yang ada. “Hal tersebut akan membingungkan masyarakat ketika hendak berobat,” ujar Akbar.
Selain itu, Akbar menjelaskan DLP yang kewenangannya overlapping dengan Dokter Keluarga membuat kerja dokter menjadi tidak efisien. Sehingga, menurutnya, program DLP tidak perlu jika sudah bisa diatasi melalui Dokter Keluarga.
Menanggapi jawaban Akbar, Arief menyatakan tidak melihat pendapat yang dikemukakan mengandung permasalahan konflik horizontal. Sebab, yang disinggung Akbar adalah konten DLP. Adapun yang dibicarakan MK adalah konstitusionalitasnya. “Artinya permasalahan konten tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak menerapkan DLP. Sebab, putusan MK kekuatan hukumnya bersifat mengikat,” tegasnya.
Dirinya pun menyinggung Putusan MK tentang DLP pada Desember 2015 lalu. Inti dari DLP adalah perlindungan bagi masyarakat kurang mampu yang tak dapat mengakses dokter spesialis. Sebab, selama ini dokter spesialis dianggap mahal dan tidak terjangkau. Sehingga landasan penerapan DLP tersebut sifatnya mulia bagi kaum menengah ke bawah.
Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power.
Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.
(ARS/lul)