Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan perempuan dapat mencalonkan diri menjadi gubernur Yogyakarta. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah dalam Putusan Nomor 88/PUU-XIV/2016 yang diucapkan Kamis (31/8).
“Mengadili, mengabulkan permohohan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar Putusan yang dimohonkan delapan orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998.
Para Pemohon mengajukan uji materiil Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) yang menyatakan:
“Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.”
Mahkamah menyatakan frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, perempuan pun dapat mencalonkan diri menjadi gubernur Yogyakarta.
Menurut Mahkamah, rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengandung pembatasan terhadap pihak-pihak yang statusnya tidak memenuhi kualifikasi dalam norma a quo untuk menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur di DIY, yang di dalamnya termasuk perempuan. Pembatasan tersebut, menurut Mahkamah, bukan didasari dengan maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Sebaliknya, justru untuk memenuhi tuntutan yang adil, Mahkamah menilai pembatasan demikian tidak boleh terjadi.
“Dengan kata lain, dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY, termasuk perempuan, menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur di DIY,” tegasnya.
Hal tersebut, menurut Mahkamah, secara empirik terbukti dalam pengisian jabatan kepala daerah di daerah-daerah lain, baik untuk jabatan kepala daerah di tingkat provinsi maupun kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, juga untuk jabatan-jabatan publik pada umumnya.
Keistimewaan DIY
Selain itu, Mahkamah pun menyatakan pasal tersebut tidak sesuai dengan historis pendirian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mahkamah menyatakan saat itu Yogyakarta secara sukarela bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelum bergabung dengan Indonesia, Yogyakarta adalah entitas tersendiri. Artinya, secara eksistensi keberadaan Yogyakarta telah ada lebih dulu dibanding Indonesia.
“Dari sini ada konsekuensi yang timbul, yaitu secara legal aturan pemilihan sultan idealnya merujuk pada aturan internal yang berkembang di Keraton Yogyakarta,” Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum.
Namun, lanjutnya, pasal a quo justru merupakan bentuk campur tangan negara pada kewenangan pemilihan pemimpin di Yogyakarta. Hal tersebut, ditegaskan Mahkamah, bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan negara menghormati daerah khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.
“Adanya persyaratan penyerahan berkas riwayat hidup yang harus diserahkan saat menjadi calon gubernur justru sikap yang tidak menghormati keistimewaan Yogyakarta,” jelasnya.
Di sisi lain, aturan a quo, menurut Mahkamah juga tidak relevan untuk diterapkan. Sebab, kewajiban berkas hanya cocok bagi daerah yang gubernurnya dipilih melalui mekanisme pilkada. Adapun di Yogyakarta, sultan dipilih oleh internal keraton dan bukan melalui pilkada.
(ARS/lul)