Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja. Permohonan tersebut menguji secara materiil kewajiban mendaftarkan diri bagi anak hasil perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan). Sidang pembacaan Putusan dengan Nomor 80/PUU-XIV/2016 digelar pada Kamis (31/8) di Ruang Sidang MK.
Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi. Aturan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerumitan administrasi kepada Pemohon. Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah menilai Pasal 41 UU Kewarganegaraan justru bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak dari perubahan peraturan perundang-undangan.
Tak hanya itu, lanjut Anwar, pasal tersebut mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau sementara dengan memberi kewarganegaraan Indonesia bagi anak-anak hasil kawin campur yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin. “Caranya dengan mendaftarkan diri kepada menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah UU Kewarganegaraan diundangkan,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dengan demikian, lanjut Anwar, berdasarkan Pasal 41 UU Kewarganegaraan, mereka yang tergolong ke dalam anak-anak hasil kawin campur akan terhindar dari kemungkinan menjadi anak yang tidak memiliki kewarganegaraan dan sekaligus terhindar pula dari kemungkinan memiliki kewarganegaraan ganda. Anwar melanjutkan anak-anak tersebut akan secara otomatis memperoleh kewarganegaraan Indonesia sampai mereka berusia 18 tahun atau sudah kawin. Pada saat tersebut, anak-anak hasil kawin campur diharuskan untuk memilih kewarganegaraannya. “Oleh karena itulah, syarat ‘belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin’ menjadi penting ditegaskan dalam ketentuan Pasal 41 UU UU Kewarganegaraan,” tegasnya.
Terkait permasalahan yang dialami anak Pemohon terkait kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat tidak mendaftar, hal tersebut bukan masalah konstitusionalitas norma. Mahkamah menilai kejadian tersebut karena kesalahan yang bersangkutan, termasuk apabila hal itu terjadi karena kelalaian atau ketidaktahuan. Alasan kelalaian, menurut Mahkamah, tidak dapat digunakan sebagai dasar pengajuan tuntutan. Sebab dalam hukum dikenal asas “nemo commodum capere potest de injuria sua propria” yang bermakna bahwa tak seorang pun boleh diuntungkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tak seorang pun boleh diuntungkan oleh pelanggaran yang dilakukan orang lain.
“Alasan ketidaktahuan tidak dapat digunakan sebagai dasar pengajuan tuntutan sebab dalam hukum juga dikenal asas ‘ignorantia juris (legis) excusat neminem’ yang berarti bahwa ketidaktahuan akan hukum (undang-undang) tidak membuat seseorang bebas dari hukum (undang-undang) itu,” tegas Anwar.
Mahkamah pun memberikan solusi jika anak Pemohon ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia, UU Kewarganegaraan tetap memberikan jalan untuk mewujudkan keinginan tersebut melalui prosedur yang diatur dalam Bab III, yaitu melalui pewarganegaraan dengan memenuhi persyaratan khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8.
(Lulu Anjarsari/lul)