Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menjadi narasumber dalam Diskusi Forum Hukum BUMN yang bertajuk “Konsep Ideal BUMN dalam Perspektif Bisnis dan Ketatanegaraan Berdasarkan UUD 1945”. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Forum Hukum BUMN di Hotel Grand Inna Kuta, Bali (25/8).
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Mantan Hakim Konstitusi Harjono dan Deputi Infrastruktur Bisnis Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Adapun para peserta seminar merupakan Forum BUMN serta Forum Hukum Online.
Dalam kesempatan itu, Arief mengatakan bahwa BUMN merupakan salah satu pilar perekonomian Indonesia guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. BUMN merupakan wujud keterlibatan negara dalam perekonomian nasional. Melalui BUMN, negara melakukan kegiatan usaha yang menghasilkan barang atau jasa, serta mengelola sumber-sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Menurut Arief, hal demikian cukup untuk mengatakan bahwa BUMN mempunyai peran vital dan menentukan dalam menunjang pembangunan nasional, khususnya bidang perekonomian.
“Dari perspektif ketatanegaraan, kedudukan BUMN tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu, pertama sekali saya akan mengulas soal Pasal 33 UUD 1945. Ketentuan Pasal 33 dikatakan sebagai karya agung bangsa ini. Pada ketentuan ini pula demokrasi ekonomi ke-Indonesia-an ditegaskan. Di sinilah kemakmuran masyarakat dan kedudukan rakyat ditempatkan pada posisi sentral substansial. Dalam posisi demikian, kepentingan masyarakat memperoleh pengukuhannya. Suatu representasi sosial ekonomi yang harus ditegakkan. Hatta menyebutnya sebagai sistem ekonomi sosialisme-religius,”ungkap Arief.
Arief menegaskan, terhadap Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, melalui putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi telah membuat tafsir atas frasa “dikuasai oleh negara”. Frasa “dikuasai negara” pada intinya dimaknai dalam arti luas berasal dari kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Lebh lanjut, rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk tujuan sebesar besar kemakmuran rakyat.
“Jadi jelas, dari perspektif UUD 1945, BUMN merupakan salah satu penggerak roda perekonomian nasional. Eksistensi BUMN dibutuhkan semata-mata membawa negeri ini menggapai tujuan dalam menyejahterakan rakyat. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit BUMN yang menurut sebagian kalangan berjalan, akan tetapi tidak atau belum sesuai dengan harapan. Hal itu antara lain disebabkan pengelolaan yang katakanlah belum optimal, ditambah dengan kontrol dan pengawasan yang juga tidak maksimal,” jelas Arief.
Akan tetapi, lanjut Arief, dari yang telah diterangkan di atas, ada pembahasan yang paling substansial, yakni BUMN dikelola dengan perlakuan dan cara-cara tak ubahnya seperti korporasi swasta. Menurut Arief, hal tersebut menjadi masalah. Dia mengatakan, pengelolaan BUMN merupakan implementasi konkret dari Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, tidak seharusnya pengelolaannya bergeser dari semangat dan makna keberadaan Pasal 33 UUD 1945.
Sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional, Menurutnya, BUMN harus ditegaskan sebagai kepanjangan tangan negara untuk diarahkan pada tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. “Jadi, tata kelola BUMN tidak boleh diperlakukan dengan intensi pengelolaan korporasi swasta, apalagi hanya mengutamakan pendekatan bisnis atau business to business. Maka, yang perlu diperhatikan dalam tata kelola BUMN ialah kembali kepada fitrahnya untuk selalu bersandar pada amanat Pasal 33 UUD 1945,”terang Arief.
Dia juga mengatakan, apabila BUMN merupakan perpanjangan tangan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka terdapat dua instrumen untuk menimbang aspek konstitusionalitas perusahaan holding BUMN, yaitu memenuhi konsep dikuasai oleh negara dan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut agar tetap bersandar pada konstitusi, dan Perusahaan Holding BUMN haruslah memenuhi kedua instrumen tersebut. Jika tidak, problem konstitusionalitas yang serius akan dihadapi.
Terakhir, Arief menjelaskan perusahaan holding BUMN dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu perusahaan induknya berbentuk perseroan dan perusahaan induknya berbentuk perusahaan umum “Dengan menggunakan ukuran konsep penguasaan negara untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kiranya holding BUMN yang berbentuk perum dinilai akan lebih ramah konstitusi dibandingkan holding BUMN berbentuk perseroan. Terlebih lagi, untuk BUMN yang mengelola sumber daya alam, dengan memposisikan Kementerian BUMN sebagai perusahaan induk berinvestasi, sehingga dapat dipahami dan dipandang lebih rasional,” tandasnya.
(Hamdi/Ega/lul)