Permohonan terkait pengujian hak angket dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/8). Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut, beragendakan mendengar keterangan tambahan Pemerintah bagi dua perkara baru, yaitu Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 dan 47/PUU-XV/2017.
Dalam keterangan yang dibacakan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Niniek Hariwati, Pemerintah menjelaskan bahwa pokok permohonan terkait hak angket DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemerintah, hak angket DPR merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR). Pasal 20A UUD 1945, lanjutnya, telah memberikan kewenangan yang bersifat open legal policy kepada pemerintah dan juga DPR untuk mengatur mengenai hak angket DPR. Ia melanjutkan tidak ada batasan atau limitasi mengenai pihak yang dapat diselidiki melalui penggunaan hak angket tersebut sepanjang dalam rangka melaksanakan kepentingan bangsa dan negara serta sejalan dengan UUD 1945.
“Dengan demikian, pilihan kebijakan pemerintah dan DPR berkenaan hak angket merupakan pilihan hukum atau legal policy dari pemerintah dan DPR. Pilihan kebijakan yang demikian tidaklah dapat diuji, kecuali (pilihan tersebut, red) dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang, ujar Niniek dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017.
Para Pemohon menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang mengatur sebagai berikut: 3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD 3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon, lanjutnya, menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, diantaranya adalah perkara E-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK.
(Lulu Anjarsari/lul)