Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dengan perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/8) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Pemerintah dan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon.
Anshari Ritonga selaku Ahli Pemerintah menjelaskan bahwa pengaturan pengenaan pajak-pajak daerah berdasarkan UU PDRD telah sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. UU PDRD, menurut Anshari, menjadi pedoman pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku untuk semua provinsi, kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia.
Rumusan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 termasuk Pasal 1 angka 13 cukup jelas. Dengan mengacu Teori Hukum Positif Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law & State bahwa hukum adalah undang-undang positif yang berlaku yang harus dilaksanakan, kata mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan tersebut.
Sebagai hukum positif yang berlaku, maka Pasal 1 ayat (13), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD adalah objek pajak dan retribusi daerah yang harus dikenakan pada kendaraan bermotor, baik atas kepemilikan perorangan pribadi, swasta, BUMN, atau milik pejabat pemerintah tanpa ada perlakuan diskriminasi.
Pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah sesuai prosedur yang berlaku dibahas di DPR. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah kepastian hukum dan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak-pajak daerah dan retribusi daerah, urai Anshari.
Lebih lanjut, menurutnya, pemenuhan pajak sebagai kewajiban kenegaraan adalah legalitas sesuai yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban berdasarkan undang-undang tidak dapat digolongkan sebagai kerugian konstitusional seseorang atau pribadi.
Beda Mekanisme
Sementara itu, Kepala Bidang Pendapatan Pajak Daerah, Badan Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Antung Mas Robeniansyah selaku saksi Pemohon mengatakan UU PDRD telah membedakan mekanisme dan dasar pemungutan pajak kendaraan bermotor dengan pajak alat berat, meskipun dalam Pasal 1 angka 13 undang-undang tersebut, alat berat termasuk kategori kendaraan bermotor.
Dalam praktiknya, Pemda Provinsi Kalimantan Selatan juga telah membedakan antara kendaraan bermotor yang digunakan di jalan umum dengan alat berat. Hal itu dapat dilihat dari bobot yang tidak dikenakan untuk alat berat. Selain itu, kendaraan bermotor biasa dikenakan tarif (pajak, red) lebih tinggi daripada alat berat, ucap Antung.
Sehubungan dengan hal itu, sambung Antung, dalam praktiknya selama ini pemungutan pajak alat berat tidak mensyaratkan kendaraan bermotor sebagaimana proses pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang melalui mekanisme Samsat. Pemungutan pajak daerah berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Sehingga tidak ada keterkaitan definisi kendaraan bermotor dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tandas Antung.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah PT. Tunas Jaya Pratama, PT. MAPPASINDO dan PT. Gunungbayan Pratamacoal. Ketiganya adalah perusahaan konstruksi yang sering menggunakan alat-alat berat seperti buldozer, mesin gilas atau stoomwaltz, excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, tractor. Para Pemohon mempersoalkan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU a quo. Ketentuan tersebut mengatur mengenai pajak kendaraan bermotor bagi alat berat.
Pada sidang pendahuluan, para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Ali Nurdin menyampaikan bahwa alat berat bukanlah moda transportasi. Hal ini sesuai dengan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015. Dengan demikian, seharusnya syarat kendaraan bermotor dalam UU LLAJ tidak boleh diterapkan kepada alat berat. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU a quo, alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
Pemohon juga menjabarkan bahwa pajak yang disamakan dengan kendaraan bermotor tersebut berakibat dikenakannya denda, kurungan atau pidana, bahkan penagihan pajak dengan paksa pada pemilik alat berat. Dengan demikian, terjadi pelanggaran atas hak konstitusional dan perlakuan yang diskriminatif kepada para Pemohon.
(Nano Tresna Arfana/lul)