Peran UUD 1945 sebagai pemersatu bukan berarti menghilangkan keberagaman bahasa, budaya, dan adat istiadat yang diwarisi rakyat Indonesia. Sebaliknya, UUD 1945 mengakui, menghormati, bahkan memelihara keragaman tersebut. Pengakuan terhadap keragaman bangsa Indonesia juga tercermin di salah satu dasar negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yaitu âPersatuan Indonesiaâ dan bukan âKesatuan Indonesiaâ.
Demikian sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. ketika memberikan ceramah pada acara âLokakarya Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adatâ, Senin (10/12) di Ruang Conference Lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi.
Lanjut Jimly, masyarakat adat adalah organisasi yang tertua jika dibandingkan dengan organisasi Negara Kesatuan RI. âMeskipun Bangsa Indonesia pernah mengalami beberapa kali konsolidasi dan pada konsolidasi terakhir kita mencantumkan hak-hak masyarakat adat yang diakui hak-hak dan keberadaannya di UUD 1945 pasca amandemen,â jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Sosial, H. Bachtiar Chamsyah, S.E menyampaikan bahwa lokakarya ini sangat strategis karena mengangkat isu perlindungan konstitusional masyarakat adat.
Urai Bachtiar, meskipun komunitas masyarakat adat berada di daerah terpencil bukan berarti mengecilkan makna, fungsi, dan peran mereka dalam pembangunan. âSelain itu, perlu dibentuk juga rancangan undang-undang yang mengatur keberadaan masyarakat adat. Melalui lokakarya ini semoga ada rekomendasi bagi kemajuan masyarakat adat dan untuk pembangunan Indonesia,â papar Bachtiar.
Lokakarya yang diselenggarakan selama dua hari ini diprakarsai oleh Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat bekerjasama dengan Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, Departemen Sosial, International Labour Organization, dan United Nations Development Programme. Acara ini juga mengagendakan pengukuhan Dewan Pengurus Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat. (Prana Patrayoga Adiputra)