Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/8). Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan saksi dan ahli Pemerintah.
Saksi Pemerintah yakni Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti Intan Ahmad menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak program Dokter Layanan Primer (DLP). Hal tersebut terangkum dalam kronologis 5 kali pertemuan IDI dengan stakeholders Pemerintah saat membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait DLP. “Awalnya menolak, kemudian mendukung, lalu kembali menolak,” jelasnya.
Tanggal 23 Maret 2016, Intan menyebut Ditjen Belmawa mendapat surat dari IDI yang berisi penolakan pada DLP. Dalam surat tersebut, IDI menjelaskan bahwa DLP bertentangan dengan hasil muktamar IDI. Kemudian, IDI kembali mengirim surat pada 28 Maret 2016 untuk meminta substansi DLP dikeluarkan dari pembahasan RPP.
Selanjutnya, jelas Intan, pihaknya menggelar pertemuan pada 26 April 2016 untuk mencari konsensus bersama antara IDI, Kemenristekditi, serta Kemenkes. Hasil pertemuan yakni menyepakati semua pihak sepakat mengawal Putusan MK Nomor 122/PUU-XII/2014 terkait DLP yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Namun, tiba-tiba di tanggal 20 Juni IDI menyatakan tidak sepakat dengan norma DLP di RPP. Mereka menegaskan tak akan bertanggung jawab atas segala implementasi aturan tersebut di kemudian hari,” jelasnya.
Setelah itu, pada 28 Juli 2016 IDI mengirim surat pada Dirjen Kelembagaan dan Iptek Dikti. Melalui surat tersebut, IDI meminta pembahasan RPP DLP ditunda karena mereka sedang mengajukan revisi UU Pendidikan Dokter ke DPR. Kemudian, pada Maret 2017, IDI mempertegas sikapnya dengan mengeluarkan buku putih penolakan DLP.
Sudah Tepat
Sementara, Pengajar Fakultas Kedokteran UI Budi Sampurno menegaskan undang-undang yang diujikan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ahli Pemerintah tersebut menegaskan penafsiran organisasi profesi yang dimaknai memiliki badan otonom, seperti kolegium, sudah tepat. Badan otonom tersebut secara fungsi idealnya diberikan kewenangan yang besar. Perbedaan penafsiran oleh Pemohon, menurutnya, lebih disebabkan pada situasi kondisi lingkungan yang terjadi dalam tataran praktik.
Adapun Rektor Universitas Padjajaran Tri Hanggono Achmad menjelaskan sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Menurutnya, terdapat aspek akademis dan aspek profesi dalam pendidikan dokter. “Untuk akademis adalah pembelajaran di kampus, sedangkan profesi ditempuh melalui program internship,” tegas ahli yang juga dihadirkan oleh Pemerintah tersebut.
Di sisi lain, Tri menilai tantangan pendidikan kedokteran saat ini adalah memperkuat kompetensi para dokter dengan mengacu pada kebutuhan untuk pelayanan masyarakat. “Program DLP ini dapat menjawab tantangan yang ada,” tandasnya.
Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter
(ARS/lul)