Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Selasa (22/8). Sidang perkara Nomor 28/PUU-XV/2017 tersebut beragenda mendengarkan keterangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Melkias Hetharia selaku ahli yang dihadirkan Pemohon.
Melkias menjelaskan sejarah singkat pembentukan KUHP di Indonesia. Menurutnya, KUHP merupakan hasil terjemahan dari Wetboek van Strafrecht yang berbahasa Belanda. “Kitab tersebut mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht for Nederlandsch-Indie atau WVSNI,” ungkapnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Dijelaskan Melkias, WVSNI diberlakukan Indonesia pertama kali pada 1 Januari 1918 berdasarkan asas korkondasi dengan koninklijk besluit Nomor 33 tanggal 15 Oktober 1915. “Walaupun KUHP kita ini turunan dari Belanda, namun pemerintah kolonial saat itu menerapkan asas korkondasi sebagai pemberlakuan reveis di daerah jajahannya. Sehingga beberapa pasal disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah jajahan. Karena terjadi pemberontakan melawan Belanda di Indonesia, maka baru pada tahun 1930 istilah aanslag dicantumkan dalam WVSNI. Jadi, sebelum tahun 1930 tidak ada istilah aanslag dalam WVSNI itu,” jelasnya.
Selanjutnya Melkias menerangkan istilah makar dalam KUHP yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu aanslag. “Dalam kamus Indonesia-Belanda karya Kramer Woordenboek, kata aanslag diartikan striking, artinya penyerangan atau attempt on manslight yaitu mencoba membunuh,” imbuhnya.
Menurut Melkias, aanslag dalam KUHP Belanda yang kemudian disalin menjadi KUHP Indonesia dipengaruhi oleh sejarah revolusi Rusia. Pada 1917 terjadi revolusi Bolshevik komunis di Rusia yang dipimpin oleh Lenin. Tsar Nicolas II dan seluruh keluarganya dibantai oleh komunis pada 17 Juli 1918.
Tsar Nicolas II Rusia tersebut masih memiliki hubungan keluarga dengan Ratu Inggris yang juga memiliki hubungan keluarga dengan Raja Belanda. Dengan demikian, seluruh Eropa yang pada umumnya masih berbentuk kerajaan termasuk Belanda, diresahkan dengan peristiwa revolusi itu.
“Belajar dari pengalaman revolusi Rusia itu, partai politik di Belanda yaitu Partai Anti Revolusi mendorong pemerintah Belanda untuk segera membuat Undang-Undang Anti Revolusi bernama Anti Revousi Feth dan disahkan pada 28 Juli 1920,” ujar Melkias.
Sebelumnya, ketentuan makar dalam KUHP dimohonkan pengujian oleh sejumlah warga negara yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai, dan Pastor John Jonga, serta Yayasan Satu Keadilan dan Gereja Kemah Injil di Papua.
Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 110 KUHP. Menurutnya, ketentuan yang mengatur soal makar tersebut digunakan pemerintah untuk mengkriminalisasi Pemohon. Menurut Pemohon, hal tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon selaku warga negara.
“Dari sinilah kami meminta MK membatalkan pasal-pasal tersebut,” jelas kuasa hukum Pemohon Andi Muttaqien di hadapan Majelis Hakim MK.
(ARS/lul)