Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang judicial review Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Senin (21/8) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Sidang digelar untuk dua perkara, yakni perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi serta perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Horas A.M. Naiborhu, Direktur Eksekutif LIRA Institute.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan bahwa pembentukan Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR sudah berdasarkan hukum dan undang-undang. Sebab, menurutnya, KPK merupakan lembaga negara yang melaksanakan undang-undang, dalam hal ini UU KPK. “Adapun anggapan Pemohon bahwa norma ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 ditafsirkan secara limitatif sebagaimana yang ada di dalam penjelasannya, hal ini merupakan tafsir dari para Pemohon sendiri,” kata Arsul kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Adapun Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyatakan:
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
DPR berpendapat, Pemohon perlu memahami secara utuh ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 tentang hak angket, terutama frasa “dan/atau”. “Pertama, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang. Kedua, hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah. Ketiga, hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan kebijakan pemerintah,” paparnya.
Hal tersebut, ungkap Arsul, sesuai dengan angka 264 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, maka digunakan frasa “dan/atau”. “Bahwa atas dasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, pasal a quo tidak hanya ditujukan pada kebijakan pemerintah saja, tapi juga terhadap pelaksanaan suatu undang-undang,” imbuh Arsul yang mewakili DPR.
Tidak Terhalangi
Sementara, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendag) Widodo Sigit Pudjianto menjelaskan bahwa Pemerintah tidak melihat adanya fakta para Pemohon terhalang tugas dan kerugiannya sehari-hari, termasuk kerugian para Pemohon yang concern terhadap perkembangan hukum tata negara maupun persoalan penegakan hukum dan Konstitusi, serta pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Pemerintah, para Pemohon tidak dalam posisi yang terganggu, terkurangi, atau setidak-tidaknya terhalang-halangi aktivitasnya untuk mengawal hukum dan Konstitusi di Indonesia melalui berbagai sarana yang tersedia sebagaimana dijamin oleh Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
“Tidak ada kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual yang dialami oleh para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya Pasal 79 Undang-Undang MD3 dan penjelasannya,” tegas Widodo.
Dengan demikian, Pemerintah beranggapan bahwa Pemohon tidak memiliki kualifikasi sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan a quo. Dalam permohonannya, Pemohon pun hanya mendalilkan bahwa pasal a quo bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Menurut Pemerintah, dalil Pemohon adalah keliru atau tidak berdasar. Jikapun ada perbedaan tafsir dalam melaksanakan norma a quo, maka hal tersebut hanya merupakan asumsi para Pemohon tanpa didukung oleh bukti dan penjelasan yang jelas. Hal ini menurut Pemerintah, bukan suatu kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual. Sehingga tidak menimbulkan causal verband antara kerugian konstitusional dengan undang-undang a quo atau tidak terdapat kondisi nyata mengenai kerugian yang didalilkan dengan pemberlakuan Pasal 79 undang-undang a quo,” tandas Widodo.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon Nomor 36 mengutip keterangan Wakil Ketua Komsi III DPR Benny K. Harman yang mengatakan hak Angket digunakan untuk mengontrol Pemerintah secara luas, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pemohon beranggapan, apabila mengacu pada pemahaman DPR dalam memaknai norma a quo, maka hak angket dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan kepada lembaga-lembaga negara independen seperti KPK. Bahkan, menurut Pemohon, hak angket dapat juga digunakan untuk menyelidiki kebijakan lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya yang melaksanakan undang-undang.
Sementara itu, Pemohon Nomor 37 menjelaskan esensi hak angket sebagai wujud hubungan antar lembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan. Menurutnya, norma yang diujikan telah menarik badan-badan dan/atau jabatan pemerintahan di bawah Presiden ke dalam ranah jangkauan hak angket oleh DPR. Padahal, sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial, hak angket oleh DPR semestinya hanya dapat ditujukan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
(Nano Tresna Arfana/lul)