Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) digelar Mahkamah Konstitusi, Senin (21/8). Sidang perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon, yaitu A.S. Natabaya dan Maruarar Siahaan. Keduanya merupakan mantan Hakim Konstitusi.
Guru Besar Ilmu Hukum A.S. Natabaya menjelaskan bahwa permohonan dalam perkara a quo tidak dapat dipisahkan dalam Perkara Nomor 3/PUU-XII/2015. Perkara tersebut bertalian dengan pengajuan penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ telah melakukan pengelompokkan berdasarkan jenis kendaraan bermotor sebagai berikut, sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan kendaraan khusus.
Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ menyatakan yang dimaksud dengan kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dalam rancang bagian tertentu, antara lain kendaraan bermotor Tentara Nasional Indonesia; kendaraan bermotor Kepolisian; alat-alat berat seperti buldozer, traktor, mesin gilas, forklift, excavator dan crane; serta kendaraan khusus penyandang cacat.
“Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 3/PUU-XII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 menyatakan penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelasnya.
Natabaya menegaskan Putusan MK Nomor 3/PUU-XII/2015 tidak menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan putusan tersebut bersifat erga omnes. Artinya, semua yang bersangkutan dengan masalah kendaraan tersebut akan tunduk kepada Putusan tersebut.
Mahkamah menilai alat berat adalah kendaraan dan/atau peralatan yang digerakkan oleh motor, namun bukan kendaraan dalam pengertian yang diatur oleh UU LLAJ. Dengan demikian, Natabaya menegaskan bahwa pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari seluruh undang-undang, termasuk UU PDRD.
“Artinya, terbuka bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur ketentuan-ketentuan khusus mengenai alat-alat berat ini. Menempatkan kedudukan alat berat sama dengan kendaraan pada umumnya, padahal keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan Konstitusi. Terkait dengan permohonan Pemohon, maka Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sepanjang yang berkaitan dengan pengertian alat berat bertentangan dengan Konstitusi,” tegas Natabaya.
Sementara itu, Maruarar Siahaan menerangkan implikasi putusan MK terhadap hukum yang terjadi. “Saya melihat yang kita bicarakan di sini sebenarnya harmonisasi dan sinkronisasi norma-norma. Apakah itu muncul dari positive legislator atau dari negative legislator yang terjadi juga dengan putusan-putusan MK. Bahwa kalau satu norma sudah dibatalkan, akan membatalkan satu undang-undang sebenarnya,” ungkap Maruarar.
“Maka tindak lanjut putusan MK yang membatalkan satu undang-undang, baik pasal, ayat, atau bagiannya membutuhkan kejelasan bagaimana proses implementasinya agar dapat berlangsung efektif dalam koordinasi horizontal personal yang setara berdasar check and balance. Barangkali inilah kelemahan sampai saat ini,” ujarnya.
Pemohon adalah perusahaan kontraktor, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD. Diwakili Ali Nurdin, Pemohon menyampaikan Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 pada April 2016 lalu yang menyatakan alat berat bukan moda transportasi sehingga syarat kendaraan bermotor dalam UU LLAJ tidak boleh diterapkan kepada alat berat. Namun, alat berat masih dikenakan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sebagaimana diatur UU PDRD.
Menurut Pemohon, pajak yang disamakan dengan kendaraan bermotor tersebut berakibat pada dikenakannya denda, kurungan atau pidana, bahkan penagihan pajak dengan paksa pada pemilik alat berat. Dengan demikian, terdapat adanya pelanggaran atas hak konstitusional dan perlakuan yang diskriminatif.
Pemohon menekankan, pada hakikatnya tidak keberatan dengan adanya pajak atau retribusi, namun bukan berdasar ketentuan yang berlaku bagi kendaraan bermotor. Hal tersebut lantaran dasar hukum atas pengertian alat berat yang bukan moda transportasi sebagaimana Putusan MK.
(Nano Tresna Arfana)