Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperbaiki permohonan uji materiil terkait tentang hak angket DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/8). Sidang kedua perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 tersebut digelar bersamaan dengan perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK dari Angket DPR.
Dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon Nomor 40, diwakili Lakso Anindito, menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Kedudukan hukum Pemohon tidak lagi sebagai wadah pegawai KPK, melainkan perseorangan yang mengalami kerugian dengan berlakunya Pasal 79 ayat (3) UU MD3. “Kami juga melampirkan NPWP dan pemotongan pajak sebagai bukti pembayar pajak dan Pemohon perseorangan,” ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Selain itu, Pemohon juga memperbaiki petitum permohonannya. Sebelumnya, Pemohon meminta MK membatalkan keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Dalam perbaikan, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut konstitusional bersyarat.
Adapun Pemohon Nomor 47 memperjelas dalil permohonan dengan menyatakan KPK tidak termasuk makna ‘pemerintah’ dalam pasal yang diujikan. “Karena pada dasarnya KPK merupakan lembaga independen. Mencantumkan KPK ke dalam ‘pemerintah’ bertentangan prinsip kemandirian,” jelas M. Isnur selaku kuasa Pemohon.
Para Pemohon menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang mengatur sebagai berikut: “3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD 3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon, lanjutnya, menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, di antaranya adalah perkara E-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK.
(Lulu Anjarsari)