Sidang perbaikan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/8) siang. Sejumlah perbaikan disampaikan para Pemohon dalam sidang untuk lima perkara, yakni perkara Nomor 38, 39, 41, 48, dan 49/PUU-XV/2017.
Virza Roya Hizzal selaku kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 38 menjelaskan telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon. “Kami memperbaiki legal standing. Dalam hal ini, Perppu Ormas tidak hanya membungkam badan perkumpulan, namun secara spesifik juga menyentuh yayasan sebagai suatu badan hukum,” ujar Virza.
Sementara, kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 39 Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa ada penambahan kerugian konstitusional Pemohon terkait kedudukan hukum. “Pemohonnya berubah, yang sebelumnya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menjadi Ismail Yusanto (Sekretaris dan Juru Bicara HTI, red),” ucapnya.
Selain itu, pada permohonan yang diperbaiki, Pemohon lebih menegaskan bahwa negara tidak konsisten dalam melakukan pembubaran ormas, dalam hal ini HTI. “Satu hari setelah HTI melakukan pendaftaran sebagai ormas berbadan hukum, kemudian pemerintah membubarkan HTI,” imbuh Yusril kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Pemohon juga memisahkan petitum pengujian formil dan petitum pengujian materiil dalam permohonannya agar lebih fokus.
Sedangkan Wahyu Nugroho, kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 41 telah melampirkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Aliansi Nusantara selaku Pemohon. “Kegiatan-kegiatan Aliansi Nusantara berupa pemberdayaan masyarakat, sangat terganggu dengan lahirnya Perppu tersebut. Perbaikan ini sudah lengkap kami uraikan dalam permohonan Pemohon,” kata Wahyu.
Selain itu, Wahyu menambahkan batu uji berupa Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang intinya menyebutkan bahwa negara, dalam hal membatasi hak asasi manusia, harus menggunakan undang-undang.
“Sementara dalam hal ini, Pemerintah membatasi hak asasi manusia melalui Perppu. Kalau konsisten pada Konstitusi, Pemerintah semestinya taat pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” imbuhnya.
Sementara, Pemohon Perkara Nomor 48 menegaskan permohonan Pemohon adalah pengujian formil dan materiil terhadap Perppu Ormas. Pemohon juga lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya melalui kedudukan hukum.
“Kemudian kami juga menguraikan kewenangan Mahkamah, yakni Mahkamah berwenang melakukan pengujian Perppu terhadap Undang-Undang,” ujar Ahmad Kozinudin selaku kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 48. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 49 tidak hadir dalam persidangan.
Sebelumnya, Afriady Putra selaku Pemohon Perkara Nomor 38 menguji Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 82A ayat (1), ayat (2), ayat (3) Perppu Ormas. Menurutnya, Perppu tersebut mengalami kemunduran dengan adanya pembubaran tanpa adanya proses pengadilan dan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi serta tidak diberikan hak untuk membela diri.
Pemohon menilai, dikeluarkannya Perppu a quo pada 10 Juli 2017 adalah suatu kemunduran dari prinsip demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Pemohon beranggapan, ada perbedaan mendasar antara Perppu a quo dengan UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Dalam UU Ormas, untuk dapat membubarkan suatu organisasi masyarakat, diperlukan upaya-upaya pendahuluan hingga saat dibubarkan.
Adapun Pimpinan HTI selaku Pemohon perkara Nomor 39 HTI merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62 ayat (1), Pasal 80, Pasal 82A ayat (1), (2), dan (3) Perppu Ormas. HTI merupakan ormas berbadan hukum yang dibubarkan oleh Pemerintah.
Sementara, Pemohon Perkara Nomor 41 adalah Ketua Umum dan Sekjen Dewan Pengurus Pusat Aliansi Nusantara, Tatang Budiman Soelaim dan Zainal Abidin. Pemohon melakukan pengujian formil dan materiil Pasal 59 ayat (1) huruf a, Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 82A Perppu a quo.
Pemohon menilai adanya gagal paham dari Presiden atas terbitnya Perppu Ormas dalam “konsideran menimbang” khususnya pada huruf c, d, dan e. Huruf c berkenaan dengan persyaratan formil dan alasan diterbitkannya suatu Perppu yang tidak terpenuhi. Huruf d berkenaan dengan kecurigaan negara melalui indikasi dan secara faktual ditemukannya asas maupun kegiatan ormas bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Huruf e berkenaan dengan diterapkan asas contrarius actus yang meniadakan prosedur pencabutan status badan hukum ormas melalui pengadilan.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 48, yakni Ketua Pengurus Yayasan Sharia Law Alqonuni Chandra Furna Irawan mendalilkan Perppu Ormas telah meniadakan banyak norma hukum yang sebelumnya sudah diatur secara rinci, di antaranya penghapusan Pasal 63 sampai 80 UU Ormas.
(Evita Sari/Nano Tresna Arfana/lul)