Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) kembali dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (2/3). Sidang digelar untuk tiga perkara yang dimohonkan oleh tiga ormas berbeda, yakni perkara Nomor 41, 48, dan 49/PUU-XV/2017.
Pemohon Perkara Nomor 41 adalah Tatang Budiman Soelaim dan Zainal Abidin selaku Ketua dan Sekjen Dewan Pengurus Pusat Aliansi Nusantara. Pemohon melakukan pengujian formil dan materiil unuk Pasal 59 ayat (1) huruf a, Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 82A Perppu Ormas.
Pemohon menilai adanya gagal paham dari Presiden atas terbitnya Perppu Ormas dalam “konsideran menimbang”, khususnya pada huruf c, d, dan e. Huruf c berkenaan dengan persyaratan formil dan alasan diterbitkannya suatu Perppu yang tidak terpenuhi. Adapun huruf d berkenaan dengan kecurigaan negara melalui indikasi dan secara faktual ditemukannya asas maupun kegiatan ormas bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Sedangkan, huruf e berkenaan dengan diterapkan asas contrarius actus yang meniadakan prosedur pencabutan status badan hukum ormas melalui pengadilan.
“Dalam konsiderans menimbang, khususnya pada huruf c, d, dan e terdapat nilai strategis peraturan perundang-undangan. Di dalamnya, memuat pokok-pokok pikiran yang jadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan berupa unsur filosofis, yuridis, politis, dan sosiologis, serta administratif,” kata Wahyu Nugroho kuasa hukum Pemohon.
Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 48, Chandra Furna Irawan selaku Ketua Pengurus Yayasan Sharia Law Alqonuni mendalilkan Perppu Ormas telah meniadakan banyak norma hukum yang sebelumnya sudah diatur secara rinci, di antaranya penghapusan Pasal 63 sampai 80 Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Ormas.
“Perppu tadi dibentuk justru menyalahi esensi peraturan pembentukan peraturan perundang-undangan. Ada norma-norma yang ditabrak oleh Perppu dan yang paling krusial adalah dihilangkan proses peradilan dalam Perppu,” ujar Ahmad Khozinudin selaku kuasa hukum Pemohon.
Dengan demikian, menurut Pemohon, Perppu Ormas tidak genting karena aspek yang diatur adalah perubahan. Sehingga tidak perlu melakukan perubahan undang-undang melalui Perppu.
Selain itu Pemohon menganggap berlakunya Pasal 1 ayat (6), (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14), (15), (16), (17), (18),(19), (20), (21), (22), (23) Perppu Ormas memberi kemungkinan bagi Pemerintah secara sepihak untuk mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law.
Adapun Pemohon Perkara Nomor 49 adalah Pimpinan Pusat Persatuan Islam yang diwakili oleh Jeje Jaenudin. Pemohon mendalilkan Pasal 59 ayat (3) huruf a Perppu Ormas yang menyatakan ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan. “Padahal Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,” ungkap Rahmat selaku kuasa hukum Pemohon.
Lebih lanjut, Pemohon juga mendalilkan Pasal 59 ayat (4) huruf c yang menyebut ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Penjelasannya menyatakan yang dimaksud dengan paham bertentangan dengan Pancasila, antara lain ajaran atheisme, komunisme, marsisme, leninisme, atau paham lain. “Ada frasa penambahan rumusan yang semula hanya empat rumusan menjadi ada frasa paham lain. Ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh penguasa,” urai Rahmat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Nomor 41, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menasihati Pemohon agar lebih mempertegas petitum. “Kenapa di petitum ada kata antara lain? Berarti antara lain, nanti yang lain-lainnya bagaimana? Ikut, apa tidak? Atau boleh ikut, boleh tidak, begitu kan? Jadi harus lebih tegas,” kata Palguna.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo lebih menyoroti kedudukan hukum Pemohon. “Awalnya saya baca kedudukan hukum Pemohon sebagai guru dan swasta. Tetapi kemudian ternyata adalah ketua umum dan sekjen. Secara lazim memang ketua umum dan sekjen yang biasa mewakili, tapi itu pun mestinya harus dirujuk bagaimana anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Jangan sampai kemudian ada pembelokan kewenangan di situ,” tegas Suhartoyo.
Adapun terhadap permohonan Nomor 48, Palguna menyarankan agar lebih menjelaskan tujuan yayasan dan kerugian hak konstitusionalnya. Sementara Suhartoyo kembali menyarankan Pemohon untuk melihat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi terkait kedudukan hukum. “Demikian pula Perkara 49 ini, yang menyebutkan ketua dan wakil ketua umum sebagai Pemohon. Nah, kalau ketua umum, sekretaris umum itu kelazimannya seperti itu. Tapi ada kekhususan-kekhususan yang merupakan keputusan organisasi, menjadi alat perlengkapan yang tertinggi di situ kan? Itu secara internal sangat kuat, kita orang luar tidak bisa mencampuri. Tapi, tetap rujukannya adalah produk di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ya,” tandas Suhartoyo.
(Nano Tresna Arfana/lul)