Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan uji materiil terkait hak angket DPR yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Rabu (2/8). Sidang perdana perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 tersebut digelar bersamaan dengan perkara Nomor 47/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK dari Angket DPR.
Pemohon kedua perkara menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang menyatakan, “3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Pemohon Nomor 40/PUU-XV/2017 menilai norma yang diujikan mengandung ketidakjelasan rumusan (multitafsir) sehingga tidak memenuhi asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya, timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK.
“DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, khususnya KPK. Hal tersebut telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” tegas Kuasa Hukum Pemohon Yadyn dalam siding yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut.
Para Pemohon juga menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Sebab, tindakan itu dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, diantaranya adalah perkara e-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK.
“Prosedur, mekanisme, alasan, dan substansi diselenggarakannya hak angket terhadap KPK oleh Komisi III DPR telah cacat prosedur dan bertentangan dengan maksud, tujuan yang seharusnya dari penggunaan angket,” imbuhnya.
Terkait kedudukan hukum, para Pemohon yang merupakan pembayar pajak menganggap penggunaan hak angket oleh Komisi III DPR terhadap KPK dibiayai oleh anggaran DPR yang bersumberkan dari APBN. Salah satu sumber APBN adalah pajak. “Maka, dengan melaksanakan hak angket tersebut dapat diperhitungkan dengan pasti kerugian Pemohon atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi kerugian terhadap Pemohon sebagai pembayar pajak yang patuh,” paparnya.
Sementara, para Pemohon Nomor 47/PUU-XV/2017, selain mengajukan uji materiil Pasal 79 ayat (3) UU MD3, juga mendalilkan kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 199 ayat 3 dan Pasal 201 ayat 2 UU MD3. Para Pemohon menemukan bahwa DPR tidak memenuhi prosedur pengesahan hak angket yang diatur berdasarkan Pasal 199 ayat (3) UU MD3. “Akibatnya, hak angket tidak sah. Dengan demikian proses pembentukan panitia angket harus dianggap tidak sah,” jelas Lalola Aester selaku kuasa hukum.
Dalam petitum-nya, para Pemohon mencantumkan dalam provisi agar MK memerintahkan kepada DPR dan Panitia Khusus (PANSUS) Angket KPK untuk menghentikan semua kegiatan dan pelaksanaan hak angket terhadap KPK sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut. Terkait Pasal 79 ayat (3) UU MD3, Para Pemohon meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Nasihat Hakim
Menanggapi kedua permohonan tersebut, Panel Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan Sitompul pun memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar para Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Palguna menilai sebagai pembayar pajak saja tidak cukup kuat membuktikan kerugian Pemohon.
Selain itu, Palguna meminta para Pemohon memperbaiki dalil permohonan yang hanya mengacu pada kasus konkret. Menurutnya, MK memiliki kewenangan untuk menguji norma, maka harus dijabarkan mengenai kerugian akibat keberlakuan norma tersebut.
“Tolong argumentasinya itu dibedakan dengan argumentasi constitutional complaint yang berangkat dari kasus konkret karena kita sedang melakukan abstrak judicial review bukan melakukan konkret judicial review, dan juga bukan melakukan constitutional complaint sehingga kasus konkrit sekali lagi hanya menjadi titik tolak karena begitu norma yang diuji itu,” terangnya.
Sedangkan Wahiduddin menyarankan agar Pemohon memperbaiki petitum permohonannya. Ia menilai antara petitum dan posita Pemohon tidak sinkron. Menurutnya, Pemohon tidak menguraikan kerugian konstitusional yang dialami dalam posita akibat pasal tersebut, namun meminta pasal tersebut dibatalkan dalam petitum. Untuk itu, Wahiduddin meminta Pemohon memperbaiki posita-nya.
(Lulu Anjarsari/lul)