Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara No. 21-22/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) terhadap UUD 1945, Rabu (5/12), di ruang sidang pleno MK dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Perkara No. 21/PUU-V/2007 diajukan oleh sepuluh lembaga, antara lain, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Suara Hak Asasi Manusia Indonesia (SHMI), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Sedangkan permohonan perkara No. 22/PUU-V/2007 diajukan oleh Daipin dkk. dengan Kuasa Hukumnya Patra M. Zen, S.H., LLM. dkk. dari YLBHI.
Dalam petitumnya, para Pemohon perkara No. 21/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan materi Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C UUD 1945. Sedangkan Pemohon Perkara No. 22/PUU-V/2007 meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU PM bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam alasan permohonannya, para Pemohon menyatakan UU PM menyediakan beragam âkemewahanâ demi mengundang investasi mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Di sisi lain, biaya eksternalitas penanaman modal selama ini seperti ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh Pemerintah dan DPR RI.
UU PM ini, lanjut Pemohon, mengutamakan investasi sebagai penopang pembangunan ekonomi. Hal ini, urai Pemohon, justru mengandung banyak kelemahan karena mengabaikan keadilan distribusi pendapatan sehingga memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Di lain pihak, masyarakat Indonesia mayoritas masih miskin dan tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Hal-hal inilah, yang menurut para Pemohon melanggar konstitusi dan mengkhianati cita-cita pembangunan ekonomi nasional yang bersandar pada nilai-nilai kerakyatan atau ekonomi Pancasila.
Persidangan kali ini dibuka dengan mendengarkan jawaban Pemerintah atas pertanyaan Hakim Konstitusi yang telah disampaikan pada persidangan sebelumnya. Jawaban setebal 35 halaman ini dibacakan secara bergantian oleh Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan RI, Hatanto Reksodiputro, Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Iklim Usaha, Soebagyo, dan Sekretaris Utama BKPM, Yuâsan.
Dalam jawabannya, Pemerintah menyatakan bahwa saat ini Indonesia memiliki kesempatan untuk meraih kesejahteraan rakyat melalui keterbukaan ekonomi sebagaimana yang sekarang terjadi di China, Vietnam, dan India. Namun, pemerintah juga beranggapan bahwa keterbukaan saja tidak cukup untuk menghasilkan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan. Pelaku-pelaku ekonomi dalam negeri juga harus diberdayakan untuk dapat memetik manfaat dari keterbukaan, salah satunya, dengan menciptakan komitmen kuat terhadap pemecahan masalah-masalah dasar kemanusiaan dengan bentuk kewajiban sosial korporat (corporate social responsibility).
âSalah satu niat disahkannya undang-undang ini adalah sebagai perbaikan daya tarik Indonesia sebagai lokasi bagi perusahaan-perusahaan yang terkemuka dalam riset dan pengembangan dasar dan terapan dan dalam pemenuhan kewajiban sosial korporat,â kata wakil dari Pemerintah.
Usai pemerintah membacakan jawabannya, persidangan dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah dan Pemohon. Dalam persidangan ini, secara bergantian masing-masing ahli menyampaikan argumentasi pro dan kontra atas eksistensi UU PM ini.
Para Ahli dari Pemohon, sebagaimana salah satunya disampaikan oleh Dr. Hendri Saparini menjelaskan bahwa spirit UU PM ini adalah keterbukaan yang sebesar-besarnya untuk mengundang investasi asing. Semangat ini sampai harus dicantumkan sebagai Kebijakan Dasar Penanaman Modal seperti tercantum dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a yaitu, âmemberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asingâ walaupun ditambah dengan embel-embel âdengan tetap memperhatikan kepentingan nasionalâ. âOleh karenanya, Undang-Undang tentang Penanaman Modal hanya semakin menempatkan Indonesia sebagai subordinasi atau sekedar kepanjangan tangan dari kepentingan global dan bukan turunan strategi dari visi kepentingan nasional yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi,â papar Hendri.
Sedangkan Ahli dari Pemerintah sebagaimana salah satunya disampaikan oleh Chatib Basri, menjelaskan bahwa sebetulnya dengan membiarkan investasi menjadi lebih terbuka baik ke semua pihak tidak hanya asing maupun domestik, tidak berarti negara kehilangan kontrol sama sekali karena peran negara masih bisa dipertahankan melalui mekanisme pengaturan isu: âmenguasai hajat hidup orang banyak harus dipenuhi oleh negaraâ. âkita harus mengerti menguasai hajat hidup orang banyak ini dalam arti yang dinamis,â jelas Chatib.
Lebih lanjut, Chatib mencontohkan bidang pendidikan adalah sektor yang sangat penting di dalam menguasai hajat hidup orang banyak. Tetapi dalam bidang ini lembaga tinggi swasta juga masih bisa berperan. âAda sektor-sektor yang tetap harus dipegang dan dikendalikan oleh negara. Namun seiring dengan berjalannya waktu, maka kita juga harus melihat ini dalam sesuatu bentuk yang dinamis dan tidak permanen,â urai Chatib. (Wiwik Budi Wasito)