Aturanketiadaan banding dalam proses praperadilan seperti yang tercantum pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa pemohon perseorangan yang berprofesi sebagai advokat mengajukan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 42/PUU-XV/2017 tersebut. Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 83 ayat (1) KUHAP.
Pasal 83 ayat (1) KUHAP menyatakan
"Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding".
David Surya yang merupakan pemohon prinsipal menjelaskan Para Pemohon yang bergelut dalam dunia peradilan melihat adanya fenomena yang umum dilakukan oleh Penyidik (Polisi/Jaksa/KPK) ketika putusan praperadilan dimenangkan oleh pihak Tersangka. Pertama, lanjutnya, penyidik akan mengajukan upaya hukum Kasasi atau upaya hukum luar biasa berupa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan kembali putusan praperadilan. Kedua, penyidik akan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru untuk mengulang kembali proses penyidikan dengan bukti yang sama dan hanya memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana yang disangkakan, dengan maksud agar penyidikan tetap dapat dilakukan dan putusan praperadilan tidak diindahkan.
Pemohon menjelaskan bahwa KUHAP menjamin melalui asas praduga tidak bersalah (the presumption of innocence) dengan menempatkan tersangka atau terdakwa tidak lagi sebagai objek pemeriksaan. Akan tetapi, tersangka atau terdakwa harus ditempatkan sebagai subjek pemeriksaan, yaitu sebagai manusia yang memiliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. “Namun, pada kenyataannya keempat sprindik yang dikeluarkan tersebut justru menempatkan La Nyalla sebagai objek pemeriksaan, bukan sebagai subjek pemeriksaan,” tambah Surya.
Selanjutnya, Rizky Kurnia Margono yang juga merupakan salah satu pemohon menilai Pasal 83 ayat (1) KUHAP pada frasa “tidak dapat dimintakan banding” merumuskan, bahwa asas presumption of innocence sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia juga harus mempertimbangkan sisi kepastian hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, jelasnya, perkara yang telah diputus berkekuatan tetap oleh hakim (inkracht van gewijsde)—dalam hal ini putusan praperadilan—tidak dapat diajukan kembali. “Karena proses hukum yang diujikan pada praperadilan dengan berdasar pada dua alat bukti dalam penyidikan tidak sesuai dengan ‘due process of law’,” ujarnya dalam sidang yang digelar pada Kamis (3/8) di Ruang Sidang Panel tersebut.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “tidak dapat dimintakan banding” dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan “bersifat final dan mengikat, karenanya tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya, termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara a quo”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Aswanto dan Manahan Sitompul tersebut memberikan saran perbaikan terhadap Pemohon. Aswanto meminta agar Pemohon memperbaiki kedudukan hokum (legal standing) yang dinilainya ambigu.
“Pemohon mendalilkan sebagai pembayar pajak, tapi pemohon juga dalam posita menyebut juga mewakili pihak ketiga, yakni masyarakat. Kedudukan hukum Pemohon menjadi ambigu. Ini harus dipertegas,” sarannya.
Sedangkan, Manahan menyarankan agar Pemohon mengelaborasi permohonannya. Menurutnya, kerugian pemohon tidak terlihat jelas dalam posita pemohon. Untuk itu, pemohon diharapkan bisa mempaparkan kerugian yang dialami akibat berlakunya pasal tersebut. (Lulu Anjarsari)